JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan anggota DPRD DKI Jakarta tidak berjalan mulus. Kedua pihak kerap berselisih pendapat dan saling kritik.
Seperti saat ini, sejumlah fraksi di DPRD DKI melakukan boikot terhadap rapat-rapat dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Ada empat fraksi yang melakukan aksi itu, yakni Fraksi Partai Gerindra, PKS, PAN, dan PKB.
Keempat fraksi tersebut melakukan boikot karena mempertanyakan sikap Menteri Dalam Negeri yang mengaktifkan kembali Basuki sebagai gubernur padahal statusnya saat ini adalah terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama.
Pada Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah disebutkan, seorang kepala daerah yang menjadi terdakwa harus diberhentikan sementara.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana mengatakan boikot itu akan dilakukan sampai ada surat pernyataan resmi dari Kemendagri bahwa Ahok memang boleh aktif kembali.
"Jadi dari Mendagri itu baru turun surat pemberhetian plt (pelaksana tugas) gubernur (Sumarsono), tapi belum ada surat putusan pengaktifan (Ahok) kembali. Jadi yang kami minta dari Mendagri adalah surat tertulis terkait dengan status Ahok sebagai gubernur," ujar Triwisaksana beberapa waktu lalu, Senin (13/2/2017).
Memori hak angket
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menilai jumlah fraksi yang melakukan boikot tidak sebanding dengan pengalamannya menghadapi semua partai pada 2015.
"Aduh, kalau boikot mah cuma empat (fraksi), saya waktu potong anggaran Rp 12 triliun (dilawan) semua partai malah, itu lebih susah," ujar Ahok, dalam program Mata Najwa, Rabu (22/2/2017) malam.
(Baca: Ahok: Cuma 4 Fraksi Saja yang Boikot Kok, "Ngapain" Pusing... )
"Itu lebih susah, semua partai mau pecat saya. (Ini) cuma empat (fraksi) saja kok, ngapain pusing," ujar Ahok.
Komentar Ahok itu mengingatkan kembali tentang aksi DPRD DKI saat akan menggulirkan hak angket terhadap Ahok sekitar dua tahun lalu.
Hak angket muncul atas perselisihan Ahok dan anggota DPRD DKI terkait APBD DKI 2015. Semua fraksi menyetujui pelaksanaan angket tersebut.
Ahok disebut melakukan mal-administrasi karena mengirimkan draf APBD DKI 2015 yang bukan hasil pembahasan dengan DPRD DKI kepada Kemendagri.
Alasan Ahok melakukan itu karena dia menemukan adanya indikasi selipan anggaran sebesar RP 8,8 triliun untuk sosialisasi SK Gubernur. Ahok menuliskan kata "Pemahaman nenek lu!" dalam draf tersebut.
Adapun, anggaran siluman Rp 12,1 triliun ditemukan Ahok setelah menyisir APBD pada tahun sebelumnya. Selain menyelidiki masalah pelanggaran kebijakan oleh Ahok, panitia hak angket ketika itu juga menyelidiki masalah pelanggaran etika yang dilakukan Ahok karena kerap berbicara kasar.
Ketua Fraksi Partai Hanura Mohamad "Ongen" Sangaji menjadi ketua tim angket tersebut. Ongen memimpin tim angket hingga masa penyelidikan selesai dan menghasilkan kesimpulan bahwa Ahok melanggar undang-undang.
(Baca: Mendagri: Saya Tidak Bela Ahok, Saya Bela Presiden)
Awalnya, hak angket dimaksudkan untuk melengserkan Ahok jika terbukti melanggar peraturan. Namun, mereka harus menggunakan hak menyatakan pendapat (HMP) untuk itu.
Sampai saat ini, belum ada kesepakatan di antara partai-partai untuk melanjutkan HMP. Seiring waktu, beberapa fraksi di DPRD DKI yang dulu mendukung hak angket kini justru mendukung Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Termasuk Ongen yang kini menjadi tim pemenangan Ahok pada Pilkada DKI.
Kini, aksi boikot tetap dilakukan empat fraksi di DPRD DKI Jakarta meski aksi tersebut dinilai mengganggu jalannya program dan merugikan kepentingan masyarakat.
(Baca: Aksi Boikot DPRD DKI Dinilai Akan Merugikan Kepentingan Publik)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.