Mengawal pilkada
Dalam mengantisipasi adanya konflik pilkada yang mungkin terjadi pascapenghitungan akhir suara, Polri telah melakukan beberapa langkah antisipastif di beberapa daerah.
Meskipun demikian langkah antisipatif untuk menanganai konflik bukan hanya menjadi tanggungjawab Polri, tetapi juga menjadi tanggungjawab seluruh komponen anak bangsa, dan yang lebih utama adalah para pasangan calon kepala daerah dan tim suksesnya.
Mereka diharapkan mampu mendinginkan situasi yang panas dengan tidak melontarkan pernyataan provokatif terkait dengan ketidakpuasan atas hasil Pilkada.
Demikian pula halnya masyarakat agar tidak mudah terpancing oleh isu-isu yang tidak jelas sumbernya, sebab itu akan banyak merugikan mereka dan mencoreng citra positif dari proses demokrasi yang sudah berjalan dengan tertib.
Kerawanan konflik Pilkada memang menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan proses demokrasi di Indonesia, dan ada banyak hal yang dapat memicu terjadinya konflik dalam pilkada. Terutama adalah terkait dengan ketidakpuasan atas hasilnya.
Meskipun beberapa tahapan pilkada dapat dilalui tanpa adanya konflik, namun hasil akhir perhitungan suara dari KPU di daerah masih akan menentukan dinamika politik selanjutnya.
Kemungkinan terburuk adalah munculnya ketidakpuasan dari salah satu atau beberapa kubu pasangan calon yang kemudian dikonversi menjadi sebuah kecaman yang bernada provokasi.
Bagi para pendukung pasangan calon yang loyal, adanya ketidakpuasan dari calon mereka atas hasil pilkada akan mendorong perasaan emosional yang dapat membuat suasana politik menjadi semakin memanas.
Pada umumnya sikap ataupun pernyataan dari pasangan calon maupun tim sukses kepala daerah yang mengindikasikan bahwa ada kecurangan dalam perhitungan suara, menjadi faktor pendorong bagi munculnya aksi massa pendukung.
Kondisi akan semakin memanas ketika protes terhadap hasil pilkada tidak diselesaikan secara baik oleh pasangan calon kepala daerah, saat calon lebih senang melontarkan sikap kekecewaan di depan pendukungnya dibandingkan dengan mencari bukti kecurangan dan melaporkannya.
Ketika para pasangan calon kepala daerah dan tim suksesnya menemukan adanya indikasi kecurangan Pilkada yang merugikan perolehan suara mereka, maka seharusnya mereka menempuh jalur yang legal dan formal.
Adapun prosedur formal tersebut bisa mereka lakukan dengan melakukan gugatan hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab MK merupakan lembaga yudikatif yang diberikan kewenangan salah satunya untuk menangani sengketa pilkada.
Sebagai lembaga yang menangani sengketa pemilu dan pilkada, semua pihak yang berperkara di MK pada umumnya bisa menerima putusan terkait sengketa tersebut.
Meski sempat tercederai dengan kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, namun hal itu tidak melunturkan penilaian terhadap keputusan lembaga MK yang masih dinilai profesional dan akuntabel dalam menangani sengketa Pilkada.