JAKARTA, KOMPAS.com - "Sweeping" di Manggarai, Jakarta Selatan dan Tambak, Jakarta Pusat pada Rabu (8/3/2017) sore mengantarkan polisi pada penangkapan sekitar 10 orang yang diduga selama setahun terakhir ini menggerakkan tawuran antarwarga.
Dari puluhan rumah yang digeledah polisi, ditemukan berbagai senjata tajam mulai dari pedang, parang, panah, senapan angin, hingga senjata api rakitan yang jumlahnya mencapai puluhan.
Para ibu-ibu yang ada dalam rumah itu mengaku terkejut, tak tahu benda-benda itu milik siapa.
"Ada yang kita amankan. Sekarang pemeriksaan menentukan status mereka apa mereka punya peran dalam peristiwa atau atau tidak," ujar Wakil Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya AKBP Didik Sugiarto di Manggarai, Rabu.
Tawuran di Manggarai akhirnya menjadi perhatian serius polisi setelah dua pelajar tewas saat tawuran pecah pada Minggu (5/3/2017). Aksi balas dendam terjadi lagi keesokan harinya pada Senin (6/3/2017), dan polisi mulai melakukan investigasi.
Hasil pemeriksaan lima saksi sejak Senin mengarahkan polisi pada para terduga penggerak aksi. Lima orang teridentifikasi bertanggungjawab atas aksi itu, dan polisi tengah memburunya.
"Lima orang teridentifikasi, dalam waktu dekat kami sebarkan DPO. Kemungkinan orang lain yang teridentifikasi akan kita cari," kata Didik.
Selain menemukan senjata tajam, polisi juga menemukan puluhan klip plastik sisa sabu maupun yang masih baru, beserta alat isap (bong) yang ditemukan dalam sebuah rumah di Manggarai.
Ketika polisi mendobrak rumah itu, sekitar tujuh orang pria di dalamnya tengah mengonsumsi narkoba. Mereka pun langsung loncat ke Sungai Ciliwung yang ada di belakang rumahnya dan tak muncul lagi ke permukaan.
Polisi masih terus memburu ketujuh orang itu dan menelusuri kegiatan penggunaan narkoba itu. Temuan sabu ini menguatkan dugaan lama bahwa aksi tawuran hanyalah pengalihan dari tindak kriminal yang sebenarnya terjadi di Manggarai yakni perdagangan narkoba.
Kasat Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan Kompol Vivick Tjangkung mengatakan selama ini, tak mudah mengungkap peredaran narkoba di wilayah Manggarai. Kondisi emosional warganya yang mudah tersulut membuat polisi harus berhati-hati dan merencanakan razia dengan matang.
"Kita harus memperhatikan situasi mental psikologis warganya, di sana kan panas sekali, tidak mudah, harus lakukan perencanaan matang, dengan jumlah personil yang juga harus banyak," ujar Vivick kepada Kompas.com, Kamis (9/3/2017).
Sebulan lalu, Satuan Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan melakukan penyuluhan kepada warga dengan mensosialisasikan bahaya narkoba. Ia mengupayakan penyuluhan itu nantinya bisa ditindaklanjuti dengan razia untuk memberantas penggunaan narkoba di sana.
Dugaan keterkaitan tawuran dengan narkoba ini sangat masuk akal jika dilihat dari aspek sosiokultural masyarakatnya. Sosiolog Universitas Indoensia Daisy Indira Yasmine mengatakan Manggarai sebagai wilayah terpadat di Jakarta Selatan dengan tingkat ekonomi rendah ini, secara sosial, tereksklusi di Jakarta.
Mayoritas warganya terutama kaum muda, memiliki keterbatasan akses pendidikan yang kemudian berpengaruh terhadap pekerjaan dan masa depannya.
"Dari sosiologisnya memang mereka pekerjaannya rentan, enggak aman buat hidupnya, kalau ada pekerjaan yang bisa mendapatkan uang, apapun diambil untuk bertahan hidup, di sektor informal atau bahkan underground, itu logis saja," kata Daisy kepada Kompas.com, Kamis.
Dari banyak penelitian tentang budaya tawuran yang digelutinya, seperti Johar Baru, Daisy menyebut kekecewaan sebuah kelompok masyarakat terhadap pemerintah, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan, pada akhirnya disalurkan melalui budaya kekerasan.
Tak banyak yang bisa mereka lakukan, tawuran hanyalah katalisator dari amarah yang mengendap lama. Apalagi tawuran dan konflik antarwarga ini menjadi sudah menjadi memori kolektif yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Tawuran bisa jadi merupakan provokasi, bisa pula disebabkan dari kenangan insiden lama yang pernah terjadi.
"Ada reproduksi kultural, reproduksi nilai yang membuat walau tidak ada masalah tapi sejarah tawuran itu diulang dan itu jadi budaya," ujarnya.
Menurut Daisy, dialog yang selama ini diupayakan polisi dan pemerintah sangat tidak efektif dan tidak menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Warga Tambak dan Manggarai pernah membuat aksi damai beberapa tahun silam.
Setelah ada aksi damai itu tawuran antar-warga sempat tak terjadi di sana. Namun, entah bagaimana, pada 2016, tawuran kembali terjadi lagi dan berulang. Maka pada 26 Desember 2016, Polres Metro Jakarta Pusat dan Polres Metro Jakarta Selatan mengumpulkan warganya untuk bertemu dan sebuah forum.
Di sana ada pengurus RT/RW, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda dari dua wilayah yang berseberangan ini.
Daisy menilai budaya kekerasan ini bisa diputus dengan menata kembali permukiman padat ini. Para pemudanya yang bisaa terlibat tawuran bisa diberdayakan dalam kegiatan yang positif, tentunya dengan sarana, dan apresiasi yang cukup.
"Misalnya dengan praktik kebudayaan yang ada, lewat aksi bersama, mencapai sebuah komunitas yang punya tujuan bersama, bermusik, seni," kata Daisy.