Bagi anggota masyarakat awam yang tidak mengikuti perkembangan Transjakarta Busway, dari awal hingga sekarang, tentu akan menilai bahwa layanan Transjakarta sekarang sudah baik. Hal itu ditunjukkan dengan bertambahnya armada, jalurnya yang semakin steril, dan masa tunggu di halte tidak terlalu lama lagi, berbeda dengan setahun silam.
Tetapi bagi mereka yang mengikuti perkembangan Transjakarta sejak awal, bisa melihat banyak masalah yang merupakan cermin kemunduran manajerial. Baik dalam hal layanan terhadap penumpang, hubungan manajemen dengan karyawan, maupun hubungan kelembagaan dengan para operator.
Pada tulisan bagian pertama ini, khusus membahas mengenai layanan terhadap penumpang saja. Isu yang lain akan dibahas pada tulisan berikutnya.
Mengalami kemunduran
Dari sejumlah indikator tersebut, tampaknya yang mengalami perbaikan baru kondisi bus saja. Itu pun karena adanya bantuan dari Pemerintah Pusat melalui pengoperasian bus biru oleh PPD. Kemudahan mendapatkan tiket (dalam arti luas) dan layanan di halte mengalami kemunduran dan cenderung lebih buruk.
Memburuknya layanan terhadap penumpang itu diperlihatkan dari ketersediaan petugas di halte-halte. Sejak awal pengoperasian transjakarta (15 Januari 2004), di setiap halte terdapat sedikitnya tiga petugas, yaitu penjaga loket, penjaga gate, dan penjaga halte kedatangan bus.
Di halte-halte besar, seperti di Blok M, Senen, Harmoni, Kota, dan lainnya, jumlah petugas lebih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan.
Penempatan minimum tiga petugas di setiap halte itu bukan kesia-siaan, tapi sesuai dengan fungsi masing-masing. Petugas loket bertugas untuk melayani penjualan tiket kepada penumpang, baik untuk tiket perdana maupun isi ulang.
Penjaga gate akan membantu penumpang untuk taping mengingat tidak semua penumpang transjakarta familier dengan model ticketing Transjakarta yang menggunakan teknologi, terutama untuk penumpang orang tua, anak-anak, atau mereka yang baru dari kampung/daerah. Mereka itu butuh bantuan dari petugas.
Petugas yang berjaga di halte kedatangan berfungsi untuk membantu mengarahkan atau mengatur jalannya (flow) penumpang yang turun/naik bus transjakarta. Ini juga penting karena tidak semua pengguna transjakarta mengenal flow perjalanan.
Namun, bila kita naik transjakarta sekarang, hampir di semua halte hanya ditemukan satu petugas saja. Petugas ini berfungsi melayani semua hal, dari penjualan/isi ulang tiket, menjaga gate, maupun membantu penumpang yang kebingungan mau menunggu atau mau pindah kendaraan.
Tentu saja model pelayanan yang seperti ini merupakan suatu kemunduran karena penumpang menjadi keropotan bila akan minta bantuan kepada petugas, sedangkan petugas pun akan pusing karena harus melayani banyak hal seorang diri saja.
Bayangkan bila penumpang ramai, banyak yang akan membeli/isi ulang tiket, serta minta bantuan untuk taping di gate, sementara mereka yang akan masuk ke dalam halte juga perlu bantuan, mana yang harus diutamakan lebih dulu?
Penempatan satu petugas dalam satu halte juga bentuk eksploitasi pekerja karena dengan begitu tidak memberikan kesempatan kepada petugas untuk beristirahat. Bagaimana jika si petugas perlu buang air kecil/besar –suatu kebutuhan yang manusiawi- sementara di halte hanya ada dia sendiri? Apakah dia harus menahan sampai penggantinya datang atau meninggalkan halte dalam kondisi kosong? Keduanya itu jelas hal yang buruk semua.
Memaksa petugas menahan buang air besar/kecil sama saja menyiksa mereka, sementara mengosongkan halte tanpa petugas jelas merugikan penumpang.
Sulit dipahami keputusan Manajemen PT Transjakarta Jakarta (PT Transjakarta) selaku pengelola Transjakarta melakukan efisiensi seperti itu dengan mengorbankan pelayanan kepada penumpang.
Sebelumnya, untuk membantu penumpang masuk/keluar stasiun dilayani oleh satpam, tetapi sekarang ditempatkan petugas khusus. Ini artinya, PT KCJ menyadari betul pentingnya peningkatan pelayanan kepada penumpang agar penumpang merasa nyaman dan cepat dalam bertransportasi.
Sebaliknya, PT Transjakarta dengan alasan efisiensi justru mengurangi jumlah petugas di halte, tetapi memasang iklan di media massa. Sungguh ini merupakan kebijakan yang tidak masuk di akal mengingat Transjakarta diharapkan menjadi transportasi andalan bagi Pemprov DKI Jakarta.
Sangat mungkin Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tidak mengetahui kondisi di lapangan yang memburuk ini.
Direksi PT Transjakarta juga tampaknya tidak tahu bahwa mereka itu bukan menjalankan institusi bisnis, tetapi menyelenggarakan layanan publik. Kalau berbinis memang untung rugi menjadi dasar utama untuk mengambil keputusan, tetapi dalam penyelengaraan layanan publik, yang utama dan pertama adalah memberikan kepuasan kepada publik.
Sangat mungkin dalam memberikan layanan yang bagus itu penyelenggara mengalami kerugian. Itulah sebabnya diperlukan adanya subsidi. Dan subsidi dari Pemprov DKI Jakarta untuk PT Transjakarta sangat tinggi. Dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan.
Merugikan penumpang
Sistem tiket (ticketing system) yang diterapkan oleh PT Transjakarta dengan e-ticketing secara serentak (sebelumnya ada yang manual dan ada yang e-ticketing), bertujuan baik, seperti dalam sistem e-ticketing lainnya yang bertujuan untuk mempermudah, efisien, dan lebih praktis. Namun yang terjadi pada PT Transjakarta justru merepotkan dan merugikan penumpang.
Pertama, hanya ada satu jenis layanan tiket dengan harga kartu perdana Rp 40.000. Ini harga yang cukup mahal bagi pekerja dengan gaji di bawah UMP atau bagi penumpang yang datang ke Jakarta sekali saja dan akan merasakan naik transjakarta.
Sampai hari ini, masih sering saya temui calon penumpang yang batal naik transjakarta lantaran harus membeli kartu seharga Rp 40.000. Boleh jadi tidak adanya lonjakan jumlah penumpang transjakarta selama tiga tahun terakhir disebabkan oleh sistem tiketnya yang memberatkan penumpang.
Penulis sendiri pernah mengalami kasus batal naik Transjakarta lantaran lupa membawa kartu tiket, sementara sayang jika harus membeli kartu tiket baru dengan harga Rp 40.000.
Pada saat awal penerapan e-ticketing serentak, penulis telah memberikan masukan agar belajar pada PT KCJ yang telah berhasil lebih dulu menerapkan e-ticketing system secara serentak tanpa harus memberatkan penumpang karena kebutuhan penumpang terwadahi semua.
Bagi penumpang yang melakukan perjalanan secara rutin, umumnya memilih membeli tiket berlangganan sehingga mereka tidak perlu repot beli tiket setiap kali akan melakukan perjalanan. Tetapi bagi mereka yang memerlukan tiket hanya untuk sekali perjalanan, juga tersedia dengan harga terjangkau.
Jaminan untuk kartu KRL sebesar Rp 11.000 masih terjangkau, apalagi dapat diambil kembali pada akhir perjalanan. Tidak heran, setelah melaksanakan e-ticketing, jumlah penumpang KRL Jabodetabek sekarang telah meningkat dua kali lipat dibandingkan awal tahun 2013, sebelum menerapkan e-ticketing.
Bandingkan dengan jumlah penumpang transjakarta yang mengalami penurunan pada 2014-2015, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Kedua, beban kerugian yang harus dipikul oleh konsumen Transjakarta itu bukan hanya pada saat membeli kartu tiket perdana saja, tapi juga pada saat isi ulang. PT KCJ sama sekali tidak memberikan beban administrasi kepada pemilik kartu langganan pada saat mengisi ulang (top up).
Manajemen PT Transjakarta selaku pengelola transjakarta memberikan beban Rp 2.000 kepada pemilik penumpang yang akan melakukan isi ulang tiket.
Usai top-up, saya baca pengumuman yang ada di halte transjakarta. Ada dua substansi yang disampaikan di pengumuman tersebut, bunyinya:
1). Setiap transaksi Top-Up Tunai di halte Trannsjakarta dikenakan biaya lananan sebesar Rp 2000 (dipotong dari jumlah uang yang disetorkan).
2). Halte Transjakata tidak melayani To-up dan pembelian kartu perdana pada jam 22.00 -05.00 WIB.
Tentu saja pengumuman nomor dua dapat dimaklumi karena itu waktu akhir dan awal kegiatan, meskipun masih bisa digugat mengingat pada koridor tertentu jam operasional transjakarta mencapai pukul 23.00 dan diawali pada jam 05.00.
Dengan adanya pengumuman tersebut, calon penumpang yang akan naik transjakarta pada jam 22.30 dan belum memiliki tiket tidak bisa aik bila dirinya sampai di halte lebih dari jam 22.00. Demikian pula calon penumpang yang akan naik pada jam 05.00, sementara dirinya tidak memiliki kartu tiket, harus menunggu pemberangkatan berikutnya setelah jam 05.00. Di KCJ, loket tutup bersamaan dengan akhir operasional KRL.
Persoalan ketiga terkait dengan masalah e-ticketing system ini adalah tidak semua halte transjakarta melayani pembelian kartu perdana atau sebaliknya tidak bisa melayani isi ulang. Saya sendiri pernah mengalami kasus batal naik Transjakarta lantaran saldo di tiket (Flazz) habis, sementara di halte tempat saya akan naik tidak bisa untuk top up, saya disarankan top up lewat ATM BCA saja. Tentu saja saran ini tidak efisien dan tidak praktis karena saya harus cari ATM BCA terdekat.
Kebijakan Manajemen PT Transjakarta soal tiket ini memang kontradiktif dengan prinsip e-ticketing itu sendiri, yang harusnya untuk mempermudah, mempercepat, dan memperingan proses pembayaran suatu transaksi. Apa yang terjadi pada e-ticketing di Transjakarta justru mempersulit, memperlambat, dan memperberat (calon) penumpang.
Orang bisa batal naik transjakarta lantaran tidak punya uang cukup untuk beli tiket perdana, waktu pembelian tiket sudah lewat, atau loket tidak bisa top up.
Boleh jadi, persoalan-persoalan di lapangan ini tidak diketahui oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama, sehingga Gubernur tidak memberikan komentar apa-apa.
Sebagai catatan akhir tulisan ini, untuk isu pelayanan pada konsumen, Manajemen PT Transjakarta sebaiknya mengembalikan bentuk-bentuk pelayanan yang lebih baik kepada konsumen dengan menempatkan minimum tiga petugas di setiap halte karena itu memiliki fungsi masing-masing, serta menghinndari eksploitasi petugas.
Ada baiknya PT Transjakarta belajar pada PT KCJ yang sama-sama menyelenggarakan angkutan umum dan sama-sama memperoleh subsidi, tapi pelayanan PT KCJ semakin bagus.
PT Transjakarta justru mundur, padahal subsidi yang diterima PT Transjakarta dari Pemprov DKI dua kali lipat daripada subsidi yang diterima oleh PT KCJ dari Pemerintah.
Dengan jumlah penumpang yang diangkut per hari, PT KCJ mampu mengangkut rata-rata 800.000 orang per hari, sedangkan PT Transjakarta hanya mampu mengangkut rata-rata 350.000 orang per hari.