Kaji ulang Pulogebang
Pentingnya meninjau kembali kebijakan pemaksaan pemberangkatan bus AKAP dari Terminal Pulogebang dan melarang pool maupun terminal-terminal di sudut kota sebagai keberangkatan dan kedatangan bus AKAP itu tidak hanya untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada penumpang, tetapi juga menyelamatkan industri transportasi itu sendiri.
Para operator bus itu adalah para entrepreneurship yang berinvestasi cukup besar untuk pengadaan sarana, buka trayek baru, hingga operator.
Mereka tidak pernah mendapatkan subsidi dari pemerintah, meskipun mereka itu menjalankan peran yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Oleh karena itulah, sebaiknya pemerintah berterima kasih kepada mereka dengan membuat kebijakan yang kondusif, bukan justru menghancurkan. Siapa yang akan naik bus mereka kalau harus berangkat dari Terminal Pulogebang?
Yang perlu dilakukan pemerintah dan Pemprov DKI Jakarta sekarang bukan memaksa para calon penumpang bus AKAP untuk naik dan turun di Terminal Pulogebang.
Yang perlu ditempuh adalah meninjau kembali fungsi Terminal Pulogebang, apakah layak atau tidak dilihat dari sisi letak yang di ujung timur Jakarta, sementara untuk menuju ke sana tidak mudah dan tidak murah bagi pengguna angkutan bus yang umumnya kelas ekonomi menengah ke bawah.
Usulan yang saya sampaikan ke Pemprov DKI Jakarta melalui Biro Perekonomian Juli 2016 adalah menjadikan Terminal Pulogebang itu sebagai sentra bangkitan ekonomi di Jakarta Timur. Hal ini sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2030 dengan bentuk alih fungsi menjadi tempat relokasi Pasar Tanah Abang yang sudah terlalu crowded.
Usulan ini cukup realistis mengingat lahan Terminal Pulogebang dan sekitarnya masih luas (12 hektar) dan aksesnya dekat jalan tol serta Stasiun KRL Cakung.
Memindahkan Pasar Tanah Abang ke Pulogebang dapat mengurai keruwetan di Tanah Abang dan sekitarnya, sekaligus optimalisasi bangunan komersial di komples Terminal Pulogebang.
Bangunan komersial (ruko-ruko) di Terminal Pulogebang itu tidak akan berfungsi bila Pulogebang tetap sebagai terminal bus AKAP. Mengapa? Penumpang bus itu kelas menengah ke bawah yang tidak punya uang lebih. Jangankan belanja oleh-oleh di terminal, makanan dan minuman pun mereka bawa dari rumah.
Perlu diyakinkan bahwa jajaran Kementerian Perhubungan tidak perlu malu meralat kebijakan yang ternyata tidak realistis ini dengan memaksa penumpang bus AKAP berangkat/turun di Terminal Pulogebang, mengingat perencanaan terminal tersebut bukan mereka.
Bahkan, seandainya Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pernah terlibat dalam penyelesaian pembangunan Terminal Pulogebang pun, itu kapasitasnya melanjutkan dari pendahulu, bukan penggagas, sehingga kadar bersalahnya rendah.
Menhub tidak perlu ragu meninjau keputusan yang ternyata tidak menguntungkan semua pihak, baik itu operator AKAP, penumpang, maupun manajemen terminal.
Jika dilanjutkan, percaya tidak, dana APBN akan terkuras banyak hanya untuk menyubsidi operasional Terminal Pulogebang lantaran pemasukan dari retribusi dan parkir tidak akan mampu menutupi, sedangkan komersialisasi ruko-ruko tidak akan berhasil karena minimnya pengunjung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.