Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

LBH Jakarta Bela Ahok soal Kasus Dugaan Penodaan Agama

Kompas.com - 15/04/2017, 19:26 WIB
Nibras Nada Nailufar

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meluncurkan Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) dalam kasus dugaan penodaan agama terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa menyatakan, Ahok dalam kasus ini telah menjadi korban dari penggunaan pasal anti-demokrasi, yakni Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.

LBH Jakarta membela Ahok karena menilai bahwa pada masa pilkada yang seharusnya demokrasi ini, tidak ada lagi orang yang dijerat dengan pasal penodaan agama.

"Hal ini adalah sebuah ironi namun nyata karena negara dalam hal ini DPR RI dan Pemerintah RI masih belum menaati rekomendasi dari putusan MK dalam uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (PNPS 65) yang menjadi dasar lahirnya Pasal 156a tentang penodaan agama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)," kata Alghiffari dalam keterangan persnya, Sabtu (15/4/2017).

(Baca juga: Jaksa: Penundaan Sidang Ahok Setelah Pilkada Didasari Dua Pertimbangan)

Majelis Hakim MK pada putusannya mengamini bahwa terdapat permasalahan dalam UU tersebut dan perlunya revisi terhadap UU Penodaan Agama.

Namun, Ahok tetap duduk di kursi pesakitan. Alghiffari berpendapat, pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu pada September 2016 lalu sama sekali tidak masuk ke dalam tafsir agama.

Menurut dia, Ahok justru mengkritik subyek hukum (orang) atau para pihak yang menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk menipu publik dalam kegiatan politik.

Pernyataan Ahok tersebut dinilainya tidak memenuhi itikad buruk atau mens rea yang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP.

Pernyataan Ahok, menurut dia, dalam hal ini dilindungi oleh kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945, UU Nomor 9 Tahun 1998, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Menurut Alghif, penyebarluasan tafsir negatif di media sosial atas pernyataan Ahok yang justru menimbulkan keresahan di masyarakat.

Ia menyebut ada pihak ketiga yang memaknai pernyataan Ahok, padahal pihak tersebut tidak mendengar, menyaksikan, mengetahui, serta mengalami langsung saat Ahok menyampaikan pernyataan tersebut.

"Sehingga memunculkan gerakkan massa 411, 212, dan 313 yang juga dilegitimasi oleh pendapat salah satu ormas Islam dengan dikeluarkannya Fatwa MUI bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama," ujar dia.

Selanjutnya, kata dia, tekanan massa dan penggunaan Fatwa MUI yang dijadikan dasar proses peradilan pidana Ahok dengan pasal Penodaan Agama dinilai sebagai tindakan yang merusak negara demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi supremasi hukum.

Menurut dia, ini merupakan perilaku sesat berdemokrasi. Ia juga menyebut pelecehan hukum sepanjang sejarah selalu terjadi dengan menggunakan pasal Penodaan agama sejak hari dilahirkannya kebijakan tersebut.

"Dan hari ini kita masih berada di titik yang sama di mana lembaga peradilan seolah tunduk pada tekanan massa, mulai dari penguasa sampai masyarakat awam tak lepas dari jerat pasal ini," kata dia. 

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Wakil Ketua DPRD Niat Bertarung di Pilkada Kota Bogor: Syahwat Itu Memang Sudah Ada...

Wakil Ketua DPRD Niat Bertarung di Pilkada Kota Bogor: Syahwat Itu Memang Sudah Ada...

Megapolitan
Saksi Sebut Hujan Tak Begitu Deras Saat Petir Sambar 2 Anggota TNI di Cilangkap

Saksi Sebut Hujan Tak Begitu Deras Saat Petir Sambar 2 Anggota TNI di Cilangkap

Megapolitan
PAN Sebut Warga Depok Jenuh dengan PKS, Imam Budi: Bagaimana Landasan Ilmiahnya?

PAN Sebut Warga Depok Jenuh dengan PKS, Imam Budi: Bagaimana Landasan Ilmiahnya?

Megapolitan
Ketika Kajari Jaksel Lelang Rubicon Mario Dandy, Saksi Bisu Kasus Penganiayaan D di Jaksel

Ketika Kajari Jaksel Lelang Rubicon Mario Dandy, Saksi Bisu Kasus Penganiayaan D di Jaksel

Megapolitan
Warga Jakarta yang NIK-nya Dinonaktifkan Tak Bisa Pakai BPJS Kesehatan

Warga Jakarta yang NIK-nya Dinonaktifkan Tak Bisa Pakai BPJS Kesehatan

Megapolitan
Perempuan yang Ditemukan Tewas di Pulau Pari Dibuang 'Pelanggannya' di Kali Bekasi

Perempuan yang Ditemukan Tewas di Pulau Pari Dibuang "Pelanggannya" di Kali Bekasi

Megapolitan
Penemuan Mayat Perempuan di Cikarang, Saksi: Mau Ambil Sampah Ada Koper Mencurigakan

Penemuan Mayat Perempuan di Cikarang, Saksi: Mau Ambil Sampah Ada Koper Mencurigakan

Megapolitan
Pembunuh Wanita di Pulau Pari Sempat Minta Tolong untuk Gotong Kardus AC

Pembunuh Wanita di Pulau Pari Sempat Minta Tolong untuk Gotong Kardus AC

Megapolitan
Sedang Berpatroli, Polisi Gagalkan Aksi Pencurian Sepeda Motor di Tambora

Sedang Berpatroli, Polisi Gagalkan Aksi Pencurian Sepeda Motor di Tambora

Megapolitan
Terdengar Gemuruh Mirip Ledakan Bom Saat Petir Sambar 2 Anggota TNI di Cilangkap

Terdengar Gemuruh Mirip Ledakan Bom Saat Petir Sambar 2 Anggota TNI di Cilangkap

Megapolitan
Beredar Video Sopir Truk Dimintai Rp 200.000 Saat Lewat Jalan Kapuk Muara, Polisi Tindak Lanjuti

Beredar Video Sopir Truk Dimintai Rp 200.000 Saat Lewat Jalan Kapuk Muara, Polisi Tindak Lanjuti

Megapolitan
Maju Pilkada Bogor 2024, Jenal Mutaqin Ingin Tuntaskan Keluhan Masyarakat

Maju Pilkada Bogor 2024, Jenal Mutaqin Ingin Tuntaskan Keluhan Masyarakat

Megapolitan
Kemendagri Nonaktifkan 40.000 NIK Warga Jakarta yang Sudah Wafat

Kemendagri Nonaktifkan 40.000 NIK Warga Jakarta yang Sudah Wafat

Megapolitan
Mayat dalam Koper yang Ditemukan di Cikarang Berjenis Kelamin Perempuan

Mayat dalam Koper yang Ditemukan di Cikarang Berjenis Kelamin Perempuan

Megapolitan
Pembunuh Perempuan di Pulau Pari Mengaku Menyesal

Pembunuh Perempuan di Pulau Pari Mengaku Menyesal

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com