Pemungutan suara putaran kedua Pilkada DKI Jakarta tidak lama lagi akan dilaksanakan, hasilnya sudah pasti akan menentukan siapa sosok pasangan calon yang akan terpilih menjadi pemimpin di Provinsi DKI Jakarta selama periode 2017-2022.
Atmosfir persaingan politik pada perhelatan Pilkada DKI Jakarta kali ini memang dapat dikatakan panas, penyebabnya adalah persaingan dalam memenangkan pasangan calon tidak hanya terkait dengan adu gagasan atau program.
Di akar rumput, isu-isu non-konseptual berkembang dan mengalir dengan sangat deras, seperti halnya isu soal agama, etnis dan penghentian program bagi masyarakat yang memilih calon tertentu.
Apa yang akan terjadi jika melihat pada adanya masalah tersebut?
Maka jawabannya adalah pilihan masyarakat akan ditentukan oleh adanya unsur fear factor. Masyarakat takut memilih calon tertentu karena akan bersinggungan dengan kelompok masyarakat agama yang akan mempermasalahkan pengurusan pelayanan terkait dengan urusan keagamaan.
Di sisi lain masyarakat juga takut memilih karena tidak akan lagi menikmati fasilitas yang selama ini sudah mereka dapatkan. Berlangsungnya kondisi ini jelas memberikan ancaman terhadap proses demokrasi yang sudah terbangun, sebab masyarakat tidak lagi dapat memilih kandidat sesuai dengan hati nuraninya.
Panasnya persaingan politik pada Pilkada DKI Jakarta juga sudah banyak diketahui oleh masyarakat luas, tidak hanya nasional bahkan juga internasional, persoalan ini yang kemudian diharapkan tidak akan berlanjut pada kehidupan pasca Pilkada.
Sejauh ini memang dapat dikatakan kondisi sosial dan politik masih kondusif, tidak berujung pada konflik fisik, sebab masing-masing pihak menyadari bahwa konflik fisik menimbulkan risiko dan dampak negatif yang luas. Namun demikian bukan berarti tidak ada ancaman yang tidak perlu diwaspadai, konflik bisa terjadi bila terus terjadi gesekan sosial yang semakin mendalam, karenanya langkah antisipatif tetap perlu dilakukan.
Kemenangan Pilkada
Siapapun yang bersaing dalam sebuah kompetisi politik pasti akan selalu menginginkan kemenangan, dan ini bukan hanya berlaku bagi pasangan calon kepala daerah dan tim sukesnya, namun juga bagi para pendukung yang bergerak secara sukarela.
Bagi para relawan, sebagian besar dari mereka bergerak atas dasar hati nurani dan keyakinan bahwa calon yang mereka usung akan memberikan perubahan dan kebaikan bagi masyarakat. Oleh karenanya mereka kemudian mau bergerak untuk mensosialisasikan sosok dan program dari pihak yang diusungnya, tentu adanya gerakan itu juga diiringi dengan adanya harapan bahwa calon yang mereka dukung dapat menang dalam Pilkada.
Dari kubu Ahok-Djarot, terdapat Teman Ahok, sebuah kelompok relawan yang eksistensinya sudah muncul cukup lama. Meski memang sempat ada kekecewaan dari sebagian Teman Ahok soal majunya Ahok dengan jalur partai politik, namun sebagian besar masih tetap mendukung Ahok untuk dapat menang dalam Pilkada.
Dari kubu Anies dan Sandiaga Uno juga terdapat beberapa kelompok relawan yang tidak kalah kreatifnya, sebut saja Sahabat Sandiaga Uno ataupun Sandiaga Uno Digital Volunteer (Soldier).
Dalam sebuah kontestasi politik, dukungan kelompok atau relawan memberikan dampak yang sangat penting bagi pasangan calon kepala daerah, mereka tidak hanya menjadi penyemangat layaknya supporter sepak bola namun juga dapat menjadi penentu kemenangan.
Gerakan mereka yang bersifat sukarela dan didasarkan atas keyakinan terhadap calon yang di usung, mendorong mereka bekerja layaknya bola salju, yang ketika di atas masih kecil kemudian ketika meluncur kebawah bentuknya akan semakin besar. Inilah yang kemudian membuat para calon kepala daerah selalu berusaha untuk terus menjaga hubungan baik dengan para relawan.