KOMPAS.com – Semua data survei yang sudah dilansir hingga Minggu (16/4/2017), tak memperlihatkan hasil signifikan untuk memperkirakan hasil akhir Pilkada DKI Jakarta, menjelang pemungutan suara putaran kedua pada Rabu (19/4/2017).
Setidaknya, dari lima lembaga survei, empat di antaranya mendapati hasil yang mengunggulkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Lalu, satu lembaga riset lain mengunggulkan pasangan petahana Basuki T Purnama-Djarot Saiful Hidayat.
(Baca juga: Elektabilitas Cagub-Cawagub DKI Menurut Survei 5 Lembaga)
Jangan senang dulu, pendukung pasangan yang mana saja. Jangan terlalu yakin juga hasil survei jadi kebenaran. Pun, tak perlu patah arang duluan buat pasangannya tidak sedang di atas angin.
Mau hasil survei lembaga apa saja dan pasangan nomor berapa pun yang unggul di situ, selisihnya masih terlalu tipis untuk memperkirakan hasil akhir pilkada ini.
Semua kemungkinan masih bisa terjadi, kawan.
“Facts are stubborn things, but statistics are pliable.” Intinya, statistik itu lentur. Dan, survei adalah murni statistik.
Respondennya, alias sampel, dipilih dengan metode statistik. Pengambilan sampel ini bahkan ada mata kuliah khususnya di jurusan yang nyerempet-nyerempet urusan riset.
Karena sepenuhnya ranah statistik, survei yang valid mutlak mencantumkan sejumlah data awal, mulai dari model pengambilan sampel, jumlah sampel, teknik pengumpulan data, dan model analisisnya.
Terus, yang kerap terlewat dikutip setiap kali hasil survei keluar adalah keberadaan “faktor” alfa (α) dan p-value. Dua-duanya bicara kemungkinan hasil survei melenceng dari kenyataan.
Bedanya, α merupakan kemungkinan yang “diharapkan” atau “diprediksi” sejak sebelum survei dilakukan. Adapun p-value adalah kemungkinan hasil di kenyataan akan berbeda dengan hasil survei yang “diakui” peneliti setelah melakukan analisis data.
Minimal banget, harus ada adalah angka α. Bonusnya, biar kelihatan keren, muncullah angka “tingkat kepercayaan”.
Apa pengaruhnya pada survei kekinian?
Hasil yang dilansir itu jangan pernah lupa ditambah dan dikurang dengan α. Dari situ, akan didapat perkiraan rentang perolehan dalam kenyataan, itu juga pakai asumsi si pengolah datanya memang jago dan enggak meleset dalam penentuan angka α ya.
Jadi, kalau satu pasangan diperkirakan bakal meraup suara dukungan 50 persen dari survei dengan α 5 persen, rentang kemungkinan perolehan suara dalam kenyataan ya 45-55 persen.
Suara mengambang dan simulasi hitungan
Ini belum lagi bicara suara mengambang. Nah, apa pula itu? Di mana posisi suara mengambang? Akankah suara ini justru yang bakal jadi tumpuan bagi penentuan hasil akhir Pilkada DKI pada 2017?
Coba dicek lagi hasil surveinya. Semua data yang dilansir hingga Minggu menyertakan angka untuk responden dengan pernyataan semacam “belum menentukan pilihan”.
Mereka yang memilih opsi inilah salah satu pengisi golongan “suara mengambang”.
Lalu, bila dimaknai lebih mendalam, α yang dipakai para penggelar survei itu juga adalah ruang “jaga-jaga” untuk pemilih mengambang, terutama untuk "kategori" yang masih mungkin mendadak berpaling hati pada detik-detik terakhir.
Siapa pula bisa memastikan para responden memang sosok-sosok “die hard” yang tak bakal tergoyahkan mendukung pasangan calon tertentu?
Tugas siapa pun yang saat ini mengaku masih punya nurani bisa jadi adalah memastikan ajang-ajang seperti Pilkada DKI tak sekadar menjadi arena “dagang sapi”.
Eh, itu istilah "zaman batu" ya. Bahasa kekiniannya, jangan sampai hajatan ini cuma jadi kegiatan transaksional demi kursi kekuasaan.
Selamat memilih bagi yang memiliki hak pilih dan hendak menggunakannya....
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.