MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara akan membacakan putusan persidangan kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Selasa 9 Mei 2017.
Akankah putusan pengadilan mampu memenuhi harapan publik, baik yang pro dan kontra, dan dapat menenun kembali rasa kebangsaan yang telah terkoyak?
Hakim mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang berat, karena kasus ini mendapatkan perhatian dan sorotan publik nasional dan internasional. Berbagai aksi massa yang mengatasnamakan umat Islam silih berganti untuk menuntut supaya kasus Ahok diputuskan sesuai dengan kehendak mereka.
Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa kasus ini adalah bentuk dari kriminalisasi atas Ahok. Putusan hakim patut diduga akan mendapatkan respons yang beragam, terutama bagi kelompok yang pro dan kontra.
Baca juga: Hakim: Putusan Ahok Sudah Siap, Ada 630 Lembar
Namun pada prinsipnya, semua pihak harus menghormati putusan pengadilan sebagai inti dari negara hukum (rule of law). Putusan pengadilan harus mengutamakan penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia khususnya hak atas keadilan dan persamaan di depan hukum.
Setiap orang, pun dengan Ahok, berhak atas persamaan di depan hukum (equality before the law), sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 4 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia juga menegaskan bahwa hak atas persamaan di depan hukum adalah satu di antara hak asasi manusia yang tidak dapat dibatasi, dihalangi, dikurangi dan atau dicabut atas dasar alasan dan di dalam situasi apapun (non derogable right).
Pasal ini mengandung arti bahwa hak untuk diperlakukan sama di depan hukum sifatnya mutlak, tidak bisa dibatasi, dikurangi, dicabut, dengan alasan apapun. Jadi, siapapun harus diperlakukan sama di depan hukum, termasuk Ahok.
Salah satu pertimbangan majelis hakim untuk memutuskan adalah tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Di sidang pembacaan tuntutan pada 20 April 2017, JPU menuntut Ahok dengan hukuman penjara 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.
Artinya, Ahok tidak perlu hidup di dalam bui jika selama 2 tahun tidak mengulangi perbuatannya. Jaksa menuntut Ahok dengan dakwaan alternatif yaitu Pasal 156 KUHP tentang permusuhan, bukan dituntut dengan dakwaan primer Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.
Tuntutan yang dinilai rendah itu dikecam oleh tokoh gerakan 212 atau Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI karena jaksa dianggap bermain-main dengan kasus Ahok. Mereka pun melakukan aksi di Gedung Mahkamah Agung pada 5 Mei 2017 untuk menuntut independensi hakim dalam memutus perkara dan menyampaikan aspirasinya ke Komisi Yudisial.
Di sisi lain, kelompok pro Ahok meminta agar hakim menjatuhkan vonis secara bebas dan tanpa terintimidasi. Kemerdekaan untuk memutuskan ada di tangan majelis hakim.
Kasus Ahok yang berhimpitan dengan nuansa suku, ras, dan agama (SARA) telah membawa bangsa ini dalam suasana yang tidak sehat dan membelah warga antara mayoritas-minoritas, pro Ahok-kontra Ahok, dan pro pemerintah-anti pemerintah, sejak delapan bulan terakhir, dengan berbagai kepentingan dan motifnya.
Suasana yang jauh dari nilai-nilai persatuan dan nilai kebinekaan ini tidak hanya dirasakan di Jakarta, namun juga secara nasional. Idealnya, putusan hakim tidak hanya membacakan vonis secara normatif, prosedural, dan legalistik berdasarkan pada hukum acara.
Namun, juga mampu merefleksikan rasa keadilan masyarakat secara substantif sehingga mempunyai kekuatan atau legitimasi secara sosial (social legitimacy). Dengan demikian, putusan pengadilan tidak hanya mengikat secara hukum, namun juga menjadi perekat sosial, dalam bentuk masyarakat menghormati dan mematuhinya.
Apapun putusan pengadilan, semoga semua pihak berlapang dada. Jikapun ada yang berkeberatan, ada prosedur hukum yang bisa ditempuh tanpa perlu mengerahkan massa.
Namun yang terpenting, jangan korbankan persatuan, kesatuan, dan kerukunan bangsa hanya karena kepentingan politik dan kelompok semata.
Seperti apa yang disampaikan oleh seorang ahli hukum Jeremy Bentham (1748-1832), sebaik-baiknya hukum adalah untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. (Mimin Dwi Hartono, Staf Senior Komnas HAM, pendapat pribadi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.