JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah memutus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bersalah dalam kasus dugaan penodaan agama, Selasa (9/5/2017).
Ahok divonis hukuman dua tahun penjara dan langsung diperintahkan untuk ditahan. Ahok mengajukan banding dan putusan hakim tersebut menjadi sorotan oleh tim kuasa hukum Ahok.
Seorang kuasa hukum Ahok, Edi Danggur, menilai ada asas yang tidak dilakukan oleh hakim hingga menjatuhkan vonis demikian kepada kliennya.
"Ada yang namanya asas non ultra petita, seorang hakim dilarang memutuskan suatu perkara yang tidak dituntut oleh jaksa dalam surat tuntutan," kata Edi, kepada Kompas.com, Kamis (11/5/2017).
(baca: Kasus Hukum Ahok Dinilai sebagai Bentuk Politisasi Identitas)
Dalam perkara yang menjerat Ahok, menurut Edi, jaksa sebelumnya mendakwa kliennya dengan dua pasal alternatif, yakni Pasal 156a dan Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 156 KUHP itu berbunyi, "Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500."
Adapun isi Pasal 156a KUHP adalah, "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."
Saat sidang tuntutan, jaksa menuntut Ahok dengan satu pasal, yakni Pasal 156 dengan ancaman hukuman satu tahun penjara dan dua tahun masa percobaan. Namun, majelis hakim memutus Ahok bersalah dengan melanggar Pasal 156a KUHP dan dinyatakan terbukti menodai agama.
Hukuman untuk Ahok pun lebih tinggi dari tuntutan jaksa, yaitu dua tahun penjara. Hal inilah yang menurut Edi, majelis hakim tidak mengindahkan asas non ultra petita.
Dalam persidangan sebelumnya juga, Edi dan tim kuasa hukum menilai Ahok tidak terbukti menodai agama seperti yang tertuang dalam Pasal 156a KUHP. Ahok justru dituntut dengan pasal alternatif, yakni Pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap satu golongan rakyat Indonesia.
"Dengan demikian, majelis hakim hanya terikat untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara ini sesuai dengan apa yang menjadi pokok masalah antara jaksa dan terdakwa, yaitu penghinaan terhadap satu golongan rakyat Indonesia," tutur Edi.
(baca: Adakah Alasan Kuat untuk Langsung Menahan Ahok?)
Edi menjelaskan, jika hakim mengikuti asas non ultra petita yang dimaksud, maka Ahok akan dijatuhi hukuman lebih rendah atau setinggi-tingginya sesuai dengan tuntutan jaksa. Sikap hakim yang memutus hukuman terhadap Ahok lebih tinggi dari tuntutan jaksa dinilai tidak lepas dari tekanan massa.
"Diperkirakan majelis hakim terintimidasi oleh tekanan demo dari sekelompok masyarakat tertentu yang menghendaki Ahok harus dihukum," ujar Edi.
Meski memandang begitu, tim hukum Ahok tetap menghargai apa yang menjadi putusan hakim. Mereka juga berharap, dalam proses banding ke Pengadilan Tinggi nanti, hakim tidak dipengaruhi tekanan massa dan fokus pada pemeriksaan berkas perkara serta fakta-fakta persidangan.