Menjadi wakil yang mendampingi sosok Basuki Tjahaja Purnama bukanlah hal mudah. Hampir dua tahun Djarot Saiful Hidayat mendampingi pria yang kita kenal dengan nama Ahok itu.
Namun, apresiasi terhadap perubahan baik yang terjadi di Jakarta terkesan diberikan hanya untuk Ahok. Sungai bersih karena Ahok. Birokrasi baik karena Ahok. Transparansi anggaran di Jakarta juga terjadi karena Ahok.
Jarang sekali Djarot menerima kredit atas prestasi-prestasi itu. Dia seolah invisible, tak terlihat mata. Padahal ada dan juga bekerja untuk rakyat Jakarta.
Sebagai wartawan yang sering meliput kegiatannya di Balai Kota, saya punya julukan yang diberikan khusus untuk Djarot. Selain seseorang yang 'invisible', dia juga merupakan 'tukang bersih-bersih'. Bersih-bersih dari "kekacauan" yang tak bisa diselesaikan Ahok.
Saya tidak memandang itu sebagai sesuatu hal buruk. Justru melihat itu sebagai sikap saling melengkapi antara gubernur dan wakilnya, antara dua orang sahabat, antara Ahok dan Djarot.
Coba ingat kembali ketika Komisi II DPR RI menolak pengalihan aset dari pemerintah pusat ke Pemprov DKI untuk pembangunan wisma atlet Kemayoran dalam rangka persiapan ASIAN Games, pada 2015. Ketika itu, Ahok menuding Pusat Pengelolaan Kompleks (PPK) Kemayoran "bermain mata" dengan DPR RI.
Namun, masalah itu selesai setelah Djarot melobi Komisi II DPR RI. Ketika itu Djarot mengatakan, ada beberapa hal yang tak dipahami anggota DPR RI terkait penggunaan lahan itu.
"Jadi jangan gegabah. Ini bukan hanya untuk kepentingan DKI Jakarta, ini kepentingan negara yang kebetulan saja tuan rumahnya adalah DKI," ujar Djarot ketika itu, Jumat (4/12/2015).
Setelah berbagai rapat dan pertemuan, akhirnya DPR RI setuju memberikan hibah murni kepada Pemprov DKI.
Berada di bawah bayang-bayang Ahok terlihat begitu sulit. Namun Djarot tidak pernah mengeluh.
Dua tahun menjadi wakil gubernur, dua tahun juga Djarot bergeming dengan sebutan tukang gunting pita. Sebuah julukan yang menggambarkan dirinya yang ada untuk menghadiri acara seremonial saja. Tanpa banyak yang menyadari apa yang telah dia lakukan di balik layar.
Jangan pernah lupa tentang beratnya masa kampanye untuk Ahok dan Djarot. Karena kasus yang menimpa Ahok, kegiatan kampanye keduanya kerap ditolak. Sebagai pasangannya, Djarot tidak luput dari kemarahan warga. Dia ikut dicaci di sana sini, bahkan ketika dia ingin memasuki masjid.
Sekarang, mari saya ceritakan sedikit pengalaman yang menjadi kisah dari seorang 'invisible' ini.
Pada suatu sore, Djarot diteriaki oleh "lautan" manusia ketika dia ingin memasuki Masjid At-Tin. Saya dan satu teman wartawan lain terus mengikuti Djarot yang mantap melangkah dan tersenyum. Sampai akhirnya kami dipisahkan oleh kerumunan dan tidak lagi melihat keberadaan Djarot.
Kami pulang menunggu Djarot keluar dari masjid itu. Saat bertemu kami kembali, Djarot memarahi kami.