"Kalian, lain kali kalau ada seperti ini lagi jangan ikut aku," kata dia.
Jujur saja saya heran karena orang yang patut dikhawatirkan seharusnya adalah dirinya sendiri.
Setelah peristiwa itu, dia malah asik pergi ke warung sop kambing dan makan dengan lahap, seolah tidak terjadi apa-apa. Berbincang dengan kami dan pengunjung restoran lain tentang betapa hangatnya suasana di dalam masjid saat itu.
Masih ingat juga kejadian Djarot diteriaki usai shalat Jumat di kawasan Tebet? Ketika itu Djarot mengaku tidak memilih masjid itu dengan sengaja. Dia memilih masjid itu karena berada paling dekat dengan lokasi kegiatan yang akan dia hadiri. Dia juga merasa berhak sholat di mana saja.
Kejadian itu terjadi usai peristiwa di Masjid At-Tin. Kebetulan, saya juga berada di sana. Saya sempat mencoba sedikit menenangkan dia dengan mengucapkan kata "sabar". Melihat saya, dia malah balik menghibur dan meminta saya untuk merasa tidak takut.
"Tenang saja kamu Jes. Kamu tenang saja, semuanya enggak apa-apa kok," kata dia.
Setelah mengucapkan itu dia menyapa warga yang ada di sana sambil tersenyum.
Setelah itu, dia membicarakan tentang perlakuan beberapa warga di masjid yang tetap baik kepadanya. Bahwa yang berteriak hanya segelintir orang saja. Bahwa dia tidak marah dan sudah memaafkan orang-orang itu. Berusaha tetap berpikir positif.
Dari semua perlakuan kasar yang diterima, Djarot tidak marah dan memilih tetap tersenyum, tanpa menyalahkan Ahok. Apapun yang dikatakan atau dilakukan orang padanya, dia tetap tersenyum. Namun, senyum khas Djarot itu pudar ketika mengetahui Ahok divonis 2 tahun penjara.
Bagi Djarot, Ahok bukan sekadar gubernur yang dia dampingi, melainkan juga seorang sahabat yang menjadi satu kesatuan dengan dia.
Djarot selalu bilang, kita tidak harus selalu hadir saat sahabat sedang bahagia. Tapi kita harus hadir saat sahabat sedang susah. Rangkaian kisah di atas membuktikan komitmen Djarot atas sikap sahabat setia itu. Menurut dia, menerima perlakuan itu merupakan bentuk "senasib sepenanggungannya" dengan Ahok.
"Bagaimana pun kami itu satu paket, jadi susahnya beliau itu susahnya saya juga. Apapun yang Pak Basuki terima, saya juga akan merasakan," ujar Djarot.
"Ini bukan hanya esensi gubernur dan wakil gubernur, tapi esensi seorang sahabat dengan sahabat yang lain, ketika punya sahabat yang sakit kita juga ikut sakit," kata Djarot.
Tulisan ini bukan tentang siapa membela siapa, tetapi tentang apa yang kita pelajari dari orang lain. Selalu ada hal baik yang bisa dipelajari dari setiap orang, terlepas dari hitam dan putih hati orang itu. Dari Djarot, kita bisa belajar kesabaran, kesetiaan, dan juga tulus dalam bekerja dan berteman.
Satu hal lagi yang kami pelajari dari dia adalah tentang konsep "mati sajroning urip". Ini merupakan istilah Jawa yang bermakna "mati di dalam hidup".
"Apa yang dimatikan dalam hidup? Nafsu, amarah, dendam, benci, kita matikan," ujar Djarot.
Mungkin, itulah alasan kenapa selama ini dia bisa begitu sabar. Dari Ahok kita belajar ketegasan. Dari Djarot kita belajar kelembutan dan kesabaran, meski kadang itu membuat kita tak menonjol dan nyaris invisible...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.