TANGERANG, KOMPAS.com - Bila sekilas melihat Masjid Jami Kalipasir di Jalan Kalipasir Indah, Kota Tangerang, seperti tidak ada yang istimewa.
Masjid yang dibangun sejak abad ke-16 itu masih tegak berdiri, berikut dengan makam-makam yang ada di depan kompleks masjid.
Namun, bila menengok lagi jauh ke belakang, masjid ini menyimpan banyak cerita dan teladan yang relevan untuk diikuti oleh warga masa kini.
Tidak cuma mengenai sejarah syiar Islam di Tangerang, tetapi juga saksi bisu toleransi antarumat beragama yang telah terjadi secara turun-temurun.
Salah satu marbot Masjid Jami Kalipasir, Erik, menceritakan bagaimana hubungan umat Islam di masjid ini yang tetap erat dengan warga di sekitar yang sebagian besar merupakan keturunan Tionghoa.
Tidak sampai 100 meter dari masjid tersebut, ada bangunan bersejarah lainnya, yakni Vihara Boen Tek Bio yang umurnya pun tak kalah tua.
"Kalau bicara toleransi, kami sudah melakukan itu dari jauh-jauh hari," kata Erik ketika ditemui Kompas.com pada Kamis (15/6/2017) siang.
Erik berkisah, hampir setiap tahun, pada perayaan hari raya agama masing-masing, suasana toleransi kental terasa.
Seperti saat umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha, warga sekitar sampai pengurus Vihara Boen Tek Bio ikut membantu kelancaran acara, salah satunya dengan turut mengawasi keamanan setempat.
Sebaliknya, ketika ada Hari Raya Waisak dan perayaan besar lainnya di Vihara Boen Tek Bio, umat dan pengurus Masjid Jami Kalipasir bergantian menjaga keamanan dan membantu mengatur parkir kendaraan serta kelancaran arus lalu lintas.
(Baca juga: Berdampingan 45 Tahun, Gereja dan Masjid Ini Saling Menjaga Toleransi)
Hubungan simbiosis mutualisme ini terjadi begitu saja tanpa ada tuntutan apa pun dari masing-masing pihak alias dilakukan secara sukarela.
Tidak hanya sesama umat beragama, pengurus masjid dan vihara pun kerap menggelar acara bersama.
Acara itu dijadikan ajang diskusi dan silaturahim, mempererat hubungan antara satu dengan yang lain.
Memelihara sejarah dan toleransi
Menurut Erik, toleransi antarumat beragama harus terus dijaga, terlebih di kala situasi politik yang sempat memanas beberapa waktu lalu.
Meski politik identitas bergejolak di Jakarta dan beberapa daerah lain ikut terpengaruh, Erik bersyukur karena gejolak yang sama tidak terjadi di lingkungannya.
"Kami dari pengurus masjid tidak ikut Aksi Bela Islam yang kemarin diadakan. Tidak perlu, menurut kami. Dan kondisi di sini juga aman-aman saja, karena kuncinya saling menghargai dan menghormati," tutur Erik.
Bahkan, dari segi bangunan, nampak dengan jelas akulturasi budaya antara agama Islam dengan budaya Tionghoa, yang kini dijadikan cagar budaya dan tetap dipertahankan.
Keunikan Masjid Jami Kalipasir, kata Erik, adalah menara masjid yang mirip dengan pagoda di Tiongkok.
Tidak jauh dari menara, juga ada hiasan lain di kubah masjid yang bentuknya menyerupai ornamen atap bangunan di vihara.
"Empat pilar di dalam masjid juga kami pertahankan, ini belum pernah diganti atau diperbaiki, makanya kelihatan retak-retaknya. Kami topang tiap pilar dengan penyangga besi," ujar Erik.
(Baca juga: Binar Toleransi di Mata Anak-anak Peserta Tur Wisata 5 Rumah Ibadah)
Ia menyampaikan, para pengurus saat ini menyusun kembali catatan sejarah masjid yang terdapat beberapa poin revisi.
Dari catatan sementara, tertera bangunan masjid didirikan oleh Tumenggung Pamit Wijaya dari kerajaan Kahuripan Bogor pada 11 Agustus 1615.
Kepengurusan masjid berikutnya diteruskan pada keturunan Tumenggung Pamit Wijaya, mulai dari anak, cucu, dan keturunan-keturunan setelahnya.
Selain bangunannya, area makam di depan masjid juga mengandung nilai sejarah karena terdapat makam para tokoh dan warga sekitar dari zaman masjid dibangun dulu, termasuk pejabat-pejabat terdahulu di Kabupaten Tangerang (sebelum pemekaran dan muncul Kota Tangerang). Ada sekitar ratusan makam di area depan masjid tersebut.
(Baca juga: Setiap Ramadhan, Pohon Kurma di Masjid Al-Barkah Bekasi Selalu Berbuah)
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.