JAKARTA, KOMPAS.com – Hari ini, Kamis (22/6/2017), Jakarta bertambah tua. Terhitung sejak penaklukan Fatahillah atas Sunda Kelapa yang hendak berkongsi dengan Portugis, Jakarta pada hari ini sudah berusia 490 tahun.
Penentuan 22 Juni sebagai hari lahir Jakarta, dalam banyak referensi memang disebut berasal dari hari penaklukan Fatahillah tersebut. Pada hari itu 490 tahun lalu, Sunda Kelapa sebagai nama wilayah diganti menjadi Jayakarta.
Jejak nama lama tinggal bersisa sebagai nama pelabuhan, yang ada sampai sekarang. Meski begitu, keberadaan wilayah ini yang berpenghuni dan beraktivitas disebut sudah ada sejak abad ke 12, setidaknya merujuk buku Jakarta: a History karya Suzan Abeyasekere—belakangan dikenal sebagai Suzan Blackburn.
Kontroversi tentang hari lahir Jakarta juga berkisar soal hari penaklukan tersebut. Adalah Husein Djajadiningrat, penulis Ensiklopedi Jakarta, yang antara lain memberikan perhitungan penanggalan berbeda untuk peristiwa yang sama.
Menurut Husein, kajian atas catatan yang bisa ditemukan untuk periode sejarah masa itu mendapati pengaruh besar penggunaan paduan penanggalan Jawa dan Islam. Penanggalan juga menggunakan perhitungan masa panen.
Hitung punya hitung, perubahan nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta itu Husein perkirakan bertepatan dengan 9 Juli 1527 atau 17 Juli 1527. Versi lain menyebut kemungkinan peristiwa yang sama ini terjadi antara rentang 17 Desember 1527 hingga 4 Januari 1527.
Setidaknya, pada 1620 berdiri balai kota pertama di sini, di Kali Besar yang sekarang ada di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Kota Lama yang masih bisa dilihat sampai sekarang juga bermula pada periode tersebut.
Sebelumnya, baik Sunda Kelapa maupun Jayakarta bukanlah kota paling penting di tanah Pulau Jawa. Pusat kekuasaan waktu itu ada di Bogor, Demak, Banten, dan Cirebon. Adapun pusat perekonomian untuk kawasan yang sekarang disebut Indonesia dan sekitarnya pada waktu itu berada di Malaka.
Sesudah Portugis menaklukkan Malaka pada 1511, satu kapal mereka merapat ke Pelabuhan Sunda Kelapa pada 1522. Mereka berniat membangun benteng di tepi barat Ciliwung. Sebagai gantinya, Portugis harus membeli seribu karung lada per tahun dari penguasa Sunda Kelapa.
Ikatan perjanjian dibuat dengan penguasa lokal yang waktu itu berafiliasi dengan Kerajaan Pajajaran. Perjanjian tersebut diabadikan dalam wujud prasasti dan dikenal sebagai Padrao, saat ini tersimpan di Museum Nasional Indonesia.
Namun, perjanjian ini tak pernah terealisasi pada akhirnya, keburu kompeni Belanda tiba.
Tantangan Jakarta
Waktu kompeni merapat dan menaklukkan Jayakarta, penduduk wilayah ini sekitar 10.000 jiwa. Perkembangan Jakarta sejak itu, bisa ditengok di Museum Fatahillah, yang dulu bernama Museum Sejarah Jakarta.
Museum ini merupakan bekas balaikota kedua di Batavia—nama baru dari kompeni untuk Jayakarta—yang berdiri pada 1627.
Dari sisi ekonomi, 70 persen perputaran uang nasional disebut terjadi di Jakarta. Kantor-kantor pusat perusahaan besar pun cenderung ada di sini. Pusat pemerintahan juga digerakkan dari kantor-kantor di Jakarta.