Luar biasa hikmah di balik kecerobohan, dan warga Ciledug yang selama puluhan tahun jalan rayanya dibiarkan killing fields bagi pemobil seperti saya, layaknya dapat durian runtuh.
Tapi keberuntungan yang paling penting, harga tanah di Ciledug memang tidak meroket edan seperti tetangga elitenya yang dikuasai konglomerat properti di Bintaro, Graha Raya, Alam Sutra, BSD City, Green Lake City, Puri Indah.
Sebab tidak ada lagi kawasan kosong yang bisa dipermainkan konglomerat dan spekulan supaya leluasa menjungkir-balikkan harga propert di Ciledug. Kawasan Ciledug kini padat pemukiman warga, hunian vertikal seperti apartemen pun jadi ceruk pasar bagi pengembang.
Ciledug telah jadi kota, bukan sekadar kecamatan. Outlet dan showroom mobil menjamur. Pusat jajan makanan mirip Newton Circle bertebaran, waralaba dari negara Paman Sam merebak di tepi jalan.
Ada pula berkah lainnya, warga Ciledug bila hari libur mudah menjangkau fasilitas publik dan arena leisure di kawasan elite sekelilingnya yang sangat dekat, sebab Ciledug berada di jantung kawasan mewah tersebut.
Ibaratnya, warga Ciledug membeli rumah dengan lebih murah tapi dapat halaman rumah tetangganya Alam Sutra yang harga tanah per meternya berkali-kali lipat.
Ingatan saya mundur jauh ke belakang. Sudah lama saya bermimpi sebagai warga negara republik, dan mungkin mimpi saya juga jadi mimpi ribuan, bahkan jutaan warga negara lainnya.
Sambil berimajinasi ke masa lampau, saya teringat penugasan homebase permanen pertama saya sebagai jurnalis RCTI di Batam, tahun 1994. Batam yang sangat berkembang secara infrastruktur dan ekonomi, tetap saja sumpek.
Ia tak lebih dari suburb area of Singapore. Dengan modal KTP dan paspor yang diterbitkan imigrasi Batam, saya tak perlu bayar pajak fiskal bila plesir ke Singapura atau Johor Bahru Malaysia.
Di sini, saya iri dengan negeri jiran, sebab pemerintahnya sangat berpihak kepada kepentingan publik, khususnya transportasi kota. Pasti saya sempatkan naik ferry 30 menit ke negeri jiran, sedikitnya satu kali dalam sebulan, hanya buat mengecup ice cream cup di Orchad Road, dan saya tidak pernah menginap sebab mahalnya ongkos hotel.
Naik bus, atau MRT bawah tanah di Singapura, dan seperti kota-kota megapolitan dunia yang pernah saya singgahi, sangat nyaman, mempersempit ketimpangan ekonomi dan sosial orang super kaya dan si melarat yang hidupnya papa.
Di Singapura naik bus atau MRT jauh lebih hemat ketimbang menunggang mobil pribadi atau cari tumpangan taksi, dan yang terpenting tetap punya dignity.
Nah, hari-hari ini, saya membayangkan dari atas elevated busway, di masa depan nantinya, keberpihakan kepada transportasi publik benar-benar diwujudkan dalam porsi lebih besar lagi.