Apalagi sampai kini saya masih mendengar umpatan kesal teman-teman yang bermukim di kawasan Bekasi, atau Cibubur, karena jalan tol yang menghubungkan dengan Jakarta sering “lumpuh”.
Beruntung pula saya tidak berkantor di kawasan bisnis Jalan TB Simatupang sebab akses jalan tol JORR (The Jakarta Outer Ring Road ) Ciledug menuju Bekasi maupun Cibubur juga sering “lumpuh” saat saya terpaksa melintasi jalur yang “konon” bebas hambatan itu.
Kemewahan luar biasa bagi saya bila harus menemui klien di kantornya di Jalan Sudirman, kawasan bisnis Kuningan, atau kawasan SCBD, sebab saya cukup naik transjakarta dari Slipi karena ada aturan shocking ganjil-genap plat mobil.
Jauh lebih efisien, apalagi sopir ojek online selalu ramah melayani saya bila terpaksa harus menggunakan jasa mereka.
Dalam hati terdalam, saya berteriak, I love you, Ciledug! I love you transjakarta.
Mobil sport utility vehicle buatan Amerika Serikat yang saya beli lima tahun lalu, kini sering “bercucur air mata” di garasi, sedih ditinggal sama pemiliknya, sebab ia tak punya lisensi naik ke jalan layang busway.
Berbeda dengan si bongsor buatan Swedia yang kini rajin saya tumpangi sambil berimajinasi warga negara republik tak hanya sumber obyek suara saat pesta demokrasi lima tahunan.
Sebab bagi saya, pemerintah selama ini hanya pintar memeras pajak dari warganya, tapi birokrasi mereka bukan pelayan terhormat bagi hak-hak publik warga negaranya, termasuk dalam urusan transportasi.
Akal sehat saya terganggu saat pemerintah menciptakan kesenjangan luar biasa di bidang ekonomi dan sosial, sebab meliberalisasi pasar sambil berpura-pura pro-rakyat kecil.
Sesungguhnya kebijakan undang-undangnya tak sedikit yang mencederai cita-cita luhur para pendiri bangsa, bahkan banyak praktik perilaku aparatnya sangat tidak mengayomi rakyat berskala ekonomi kecil.
Saya hanya mampu menjerit di dalam hati. Hak saya hanya mengutuki diri sendiri sambil membayangkan suatu hari nanti dapat menikmati ice cream cup secara leluasa di pinggir Jalan Sudirman-Thamrin, dan tetap merasa punya dignity di tengah lalu-lalang warga negara asing.
Wow, perlahan hati saya lebih terhibur. Jakarta telah memulai debutnya dengan transjakarta. Kini digarap pula MRT, LRT, semua dalam tahap finishing. Hebat!
Memang, paradigma bangsa ini harus berubah dalam kebijakan transportasi publiknya, bila tidak warga negaranya hanya akan jadi “penumpang gelap” di seberang gedung-gedung pencakar langit milik korporasi raksasa dari negara Paman Sam, Tiongkok, Hongkong, Korea, Jepang, Inggris.
Baca juga: Halte Cipulir di Koridor 13 Transjakarta Dilengkapi Eskalator
Pemerintahan boleh datang dan pergi, tapi negara dan bangsa ini harus selalu berdaulat, dan warga negaranya tetap kelas satu di Tanah Air-nya.
Pagi di hari Senin 21 Agustus, saya terpaksa membawa mobil, sebab harus menemui calon klien yang tak terjangkau jalur transjakarta. Dari rumah start awal pukul 05.57 Wib, mengantar ponakan Aditya ke sekolahnya di SMA 3 Kota Tangerang di Ciledug yang memang harus saya lewati.
Mau tau hasilnya? Saat saya memasuki gerbang parkir office building Wisma Sejahtera di Slipi, karcis parkir menunjuk pukul 08.02.59 Wib. It’s a crazy traffick jam!
Hati saya nelangsa. Berapa jam lagi waktu yang harus saya kuras sia-sia untuk sampai di kantor klien nantinya…
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.