JAKARTA, KOMPAS.com - Rabu (15/11/2017) lalu, Kompas.com mengamati kegiatan pedagang kaki lima (PKL) di salah satu lapak yang berada di atas trotoar di dekat jembatan penghubung antara Blok F dan Blok G, Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pemilik lapak sebut saja bernama Boy (bukan nama sebenarnya).
Boy bercerita, setiap bulan ada orang yang meminta bayaran terhadapnya. Besarnya Rp 500.000. Dia menyebut orang tersebut merupakan anak buah salah satu tokoh ternama di kawasan Tanah Abang.
Selain itu, masih ada jatah preman harian senilai Rp 5.000 untuk sewa lahan dan Rp 3.000 untuk biaya menitipkan barang dagangan di parkiran saat ada razia oleh petugas Satpol PP.
Apa yang diucapkan Boy kemudian disaksikan langsung Kompas.com. Kala itu, seseorang datang ke lapak Boy. Tanpa berbasa basi, Boy tampak sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Ia menyalami pria itu dengan menyelipkan uang dalam genggamannya.
Baca juga : Menyaksikan Preman Meminta Jatah Harian kepada PKL Tanah Abang
Praktik tersebut merupakan pungutan liar (pungli). Boy juga menyadari dia berdagang di lokasi yang salah. Namun dia dan para PKL merasa cukup bersyukur. Pungli itu kini jauh lebih murah dibanding sebelumnya, seiring turunya pamor salah satu tokoh ternama di kawasan tersebut.
Beberapa pedagang yang menduduki jalur pedestrian menyebutkan harga sewa lahan di trotoar saat ini hanya Rp 500.000 per bulan. Harga itu setengah dari harga sebelum Tanah Abang tertata rapi pada era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Saat kawasan itu sempat terata rapi, mereka tidak bisa berkutik,. Tidak bisa berdagang di trotoar maka tidak ada pemasukan.
Dengan harga sewa yang kini murah, tak sedikit pemilik kios yang ada di dalam Pasar Tanah Abang ikut turun ke jalan. Maesaroh misalnya mengaku turun ke jalan karena tahu harga sewa yang murah. Padahal dia memiliki toko di Pasar Blok F Tanah Abang.
"Di kios biar suami saya yang jaga, saya pindah ke sini. Harga sewanya murah cuma Rp 500.000 sebulan, tapi yang beli lebih banyak," kata dia.
Menurut Maesaroh, dulu harga sewa lahan di trotoar bisa mencapai Rp 1 Juta untuk periode satu bulan.
Lahan Basah
Rupanya, tak semua trotoar memiliki lalulintas uang yang bagus dan menggiurkan. Ada satu titik di mana perputaran uang cukup besar. Tempat tersebut berada di dekat Stasiun Tanah Abang. Di lokasi tersebut, pedagang bisa meraup keuntungan yang lebih besar dibandingkan lokasi lain.
Hal tersebut dikatakan Roni (bukan nama sebenarnya), pedagang baju yang mengaku sudah hampir 3 tahun berjualan di dekat Stasiun Tanah Abang. Menurut Roni, dengan berjualan di dekat stasiun, orang lebih banyak membeli barang dagangannya.
Baca juga : Lulung Akui Punya Lahan yang Disewakan untuk PKL Tanah Abang
"Di sini sehari enggak kurang dari 1 juta untungnya aja," kata Roni sambil menjajakan dagangannya di atas trotoar yang dibangun Pemprov DKI Jakarta.
Namun, besarnya pemasukan yang didapatkan seirama pula dengan besarnya pungutan yang diberikan kepada para preman. Dalam sehari, 3 sampai 4 orang meminta iuran kepada para pedagang di dekat pintu masuk stasiun itu. Besarannya bervariasi, mulai dari Rp 3.000, Rp 5.000 sampai Rp 10.000. Pungutan itu belum termasuk iuran tetap sebesar Rp 500.000 per bulan untuk biaya sewa lahan di atas trotoar.
Tak sampai di situ, iuran harian ternyata berbeda untuk hari biasa dan hari libur atau akir pekan. Hal tersebut dikemukan Siti (bukan nama aslinya), salah satu PKL yang berdagang di trotoar Tanah Abang.
"Iuran harian itu beda-beda, hari biasa sama hari libur beda iurannya," kata Siti, Kamis kemarin.
Jika hari biasa, iuran lahan trotoar sebesar Rp 5.000, pada hari libur naik dua kali lipat menjadi Rp 10.000. Iuran parkiran pun dipungut dengan besaran Rp 3.000 tiap hari biasa dan Rp 5.000 tiap libur.
"Pokoknya (iuran) naik dua kali lipat kalau hari libur, mau ramai, mau sepi, iurannya segitu," kata Siti.