JAKARTA, KOMPAS.com - Jebolnya tanggul di Jatipadang pada Selasa (21/11/2017), menjadi yang ketiga dalam waktu dua bulan terakhir. Sebelumnya, di lokasi yang berdekatan yakni di RT 03 RW 06, tanggul juga jebol pada 15 Oktober dan 12 November 2017.
Tanggul-tanggul yang jebol terbuat dari semen dan tingginya hanya 1 meter dari permukaan jalan. Kali Pulo yang melintasi Jatipadang nampak sempit. Lebar kali itu hanya 2 meter, kanan kirinya diduduki oleh rumah.
Semakin ke hilir, Kali Pulo semakin sempit. Otomatis, ketika hulu mengirim air dengan deras, air meluap dari kali. Ketika kali sudah tidak mampu menampung air, tanggul akan jebol.
"Sebelum jebol itu saya duduk di sini (tanggul), terus air itu deras banget, cuma makin ke sana (hilir) makin sempit kan. Itu (tanggul) sebelum jebol, air sampai balik lagi lho ke arah sana (hulu)," ujar Cepi, salah satu warga Jatipadang.
Baca juga : Mengapa Jatipadang Sering Alami Banjir?
Bagi warga Jatipadang, banjir sudah menjadi rutinitas sehari-hari.
Saban musim hujan, mereka angkut-angkut barang. Ketika air surut, mereka mulai bersih-bersih, dan berulang lagi keesokan harinya.
Mereka ingin terbebas banjir, seperti halnya warga lain di Jakarta Selatan yang kini sudah bebas banjir.
"Jatipadang ini dianaktirikan. Pak Gubernur enggak usah ngomongin penjajahan Belanda, ini loh Pak, dari zaman Belanda enggak pernah dibangun," kata Cepi.
Warga berharap rumah-rumah di bantaran kali digusur sehingga kali bisa dilebarkan.
Tunggu kebijakan gubernur
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.