JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Ahmad Safrudin mengatakan, tingginya pencemaran udara di Jakarta berdampak pada kesehatan warganya. Jakarta memiliki indeks standar pencemaran udara yang tinggi sepanjang tahun dan bahkan sebagian berkategori berbahaya. Pencemaran di Jakarta juga termasuk berbahaya dan melewati standar yang ditetapkan World Health Organization (WHO).
Berdasarkan data Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), pada 2016 masyarakat harus membayar biaya kesehatan Rp 51,2 triliun. Angka tersebut berasal dari 58,3 persen warga Jakarta yang terbaring sakit karena pencemaran udara, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan sejumlah penyakit pernapasan lainnya.
Angka tersebut meningkat hampir dua kali lipat dibanding 2010 karena biaya kesehatan yang harus dikeluarkan warga sekitar Rp 38 triliun.
"Di 2016 itu kerugian biaya kesehatan mencapai Rp 51,2 triliun, angka yang begitu besar. Ini karena buruknya kualitas udara di Jakarta," ujar Ahmad dalam diskusi yang diselenggarakan di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (18/12/2017).
Baca juga: Lebih dari 200 Negara Berjanji Hentikan Pencemaran Plastik di Laut
Selain itu, pada 2010 jumlah penderita ISPA di Jakarta sebanyak 2,4 juta orang. Angka itu meningkat dari 2016 yang sebanyak 2,7 juta orang. Buruknya kualitas udara juga menyebabkan berbagai penyakit lainnya, seperti kanker, jantung, penurunan kecerdasan, hingga kematian.
Ahmad menilai, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno bisa berperan besar untuk mengatasi pencemaran udara di Jakarta dengan penegakan Perda Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
"Sebenarnya gampang saja bagi gubernur baru, tegakkan saja perdanya. Misalnya, mobil yang belum uji emisi ditilang dan diberi sanksi. Akan berefek nantinya," ujar Ahmad.