JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan melanjutkan sidang kasus ujaran kebencian dengan terdakwa Asma Dewi pada Selasa (23/1/2018) dengan agenda pemeriksaan ahli bahasa yang dihadirkan terdakwa. Ahli bahasa yang didatangkan yakni Erfi Firmansyah, dosen Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Dalam sidang, Erfi ditanyai soal isi postingan Asma Dewi, antara lain soal makna frase "rezim koplak" serta kata "edun".
"Apa makna koplak itu? Koplak itu kan bahasa Jawa, apa ahli tahu makna koplak?" tanya Hakim Ketua Aris Bawono.
"Koplak yang saya ketahui bermakna lucu, gokil banget. Tidak dapat diartikan menurut kultur Jawa, Batak, karena disampaikan di Jakarta," kata Erfi.
Hakim Aris bertanya berulang-ulang untuk memastikan arti kata koplak. Hakim bertanya apakah koplak bisa diartikan sebagai bodoh atau gila.
Baca juga : Jaksa Nilai Pengacara Asma Dewi Tak Cermat Baca Dakwaan
Erfi menyebut bodoh atau gila tak bisa disamakan dengan koplak yang disebut Asma Dewi.
Erfi juga ditanya jaksa penuntut umum (JPU) soal arti kata "edun" dalam salah satu postingan Asma Dewi. Jaksa mengira "edun" yang ditulis adalah pelesetan dari kata "edan".
"Edun ya tidak ada artinya, tidak ada itu di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)," kata Erfi.
Ketua majelis hakim heran dengan keterangan Erfi. Ia menanayakan ke Erfi apa kata "edun" benar-benar tak ada makna dan maksudnya. Hakim bahkan mencontohkan ujaran "jancuk" yang kerap digunakan di Surabaya, Jawa Timur.
"Jancuk itu juga tidak ada di KBBI, artinya tidak ada. Tapi pada saat suasana enak, lama enggak ketemu teman, 'jancuk' itu no problem. Tapi saat enggak enak, ada masalah, seolah memaki," kata Hakim Aris.
Erfi menyatakan postingan Asma Dewi yang dipermasalahkan tidak mengandung ujaran kebencian melainkan hanya kritik atau ungkapan semata. Erfi berpendapat, makna ucapan-ucapan Asma Dewi di Facebook hanya diketahui oleh Asma Dewi sehingga tak dapat disebut menimbulkan ujaran kebencian.
Dalam sidang, hakim, jaksa penuntut umum, ahli, dan tim kuasa hukum berdebat soal berbagai ucapan Asma Dewi yang antara lain membahas masalah impor daging, ancaman vaksin dari China, hingga kewajiban belajar bahasa China.
Sidang diskors pada Selasa petang dengan agenda selanjutnya pemeriksaan ahli pidana yang juga dihadirkan Asma Dewi.
Dewi didakwa dengan empat pasal dalam dakwaan alternatif oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam dakwaan alternatif pertama, jaksa menyatakan Asma Dewi dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang dibuat untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan yang dituju dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Dia didakwa dengan Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45 Ayat (2) UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, sebagai mana diubah dengan UU RI Nomor 19 Tahun 2016.
Dakwaan kedua, menurut jaksa, pada tanggal 21 Juli 2016 dan 22 Juli 2016, Asma Dewi dinyatakan dengan sengaja menumbuhkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis berupa membuat tulisan atau gambar, untuk diletakan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lain yang dapat dilihat atau dibaca orang lain.
Perbuatannya diancam pidana dalam Pasal 16 juncto Pasal 40 b angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Dalam dakwaan ketiga, jaksa menyatakan Asma Dewi dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana Pasal 156 KUHP.
Selain itu, Asma Dewi didakwa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umun yang ada di Indonesia. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dengan Pasal 207 KUHP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.