TANGERANG, KOMPAS.com - Rabu (28/2/2018) ini, Kota Tangerang genap berusia 25 tahun. Di usia peraknya ini, Kota Tangerang yang tadinya bagian dari Kabupaten Tangerang, berkembang dan menunjukkan diri sebagai kota metropolitan penyangga Jakarta.
Namun pesatnya pertumbuhan di Tangerang tak hanya terjadi di era modern. Sejak lama, Tangerang telah dikenal sebagai pusat perekonomian yang dimanfaatkan penjajah.
Dalam buku Sejarah Banten: Membangun Tradisi dan Peradaban karangan Nina Lubis (2014), Banten sebagai induk Tangerang sudah tercatat dalam perjalanan para penjelajah yakni Tome Pires dari Portugis hingga Mao Kun dari China pada 1421.
Penulis Claude Gillot dalam buku Banten, Sejarah Peradaban Abad X-XVII (2008) mengungkapkan nama Tangerang disebut dalam catatan ekspedisi Francisco de Sá pada 1527 sebagai "Tamgaram".
Banten adalah pelabuhan terbesar di Pulau Jawa ketika itu. Banten berada di jalur perdagangan internasional. Penduduknya datang dari bermacam-macam suku, mulai dari pedagang muslim yang berasal dari timur Indonesia, hingga bangsa China yang bermukim di pinggir Sungai Cisadane yang kini dikenal sebagai Cina Benteng.
Dalam perjalanannya membangun peradaban, Banten dan Tangerang merupakan bagian dari Kesultanan Banten.
Dikutip dari profil kota situs Pemkot Tangerang, sejarah mencatat lahirnya Tangerang bermula dari sebutan untuk sebuah bangunan tugu berbahan dasar bambu yang didirikan Pangerang Soegiri, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten.
Tugu tersebut terletak di bagian Barat Sungai Cisadane yang diyakini saat ini berada di wilayah Kampung Gerendeng. Oleh masyarakat sekitar, bangunan tugu tersebut disebut tengger atau tetengger yang dalam bahasa sunda berarti tanda atau penanda.
Sesuai dengan julukannya, fungsi tugu tersebut memang sebagai penanda pembagian wilayah antara Kesultanan Banten dengan pihak Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) yang datang pada abad ke-17.
Wilayah kesultanan Banten berada di sebelah barat dan wilayah yang di kuasai VOC di sebelah timur sungai Cisadane.
Hingga pada sekitar tahun 1652, penguasa Banten mengangkat tiga orang maulana, yang diberi pangkat Aria. Ketiga maulana tersebut merupakan kerabat jauh Sang Sultan yang berasal dari Kerajaan Sumedang Larang, bernama Yudhanegara, Wangsakara dan Santika.
Dalam perjuangannya, ketiga maulana tersebut membangun benteng pertahanan hingga mendirikan pusat pemerintahan kemaulanaan yang menjadi pusat perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Namun, dalam pertempuran melawan VOC, ketiga maulana gugur satu demi satu.
Aria Santika wafat tahun 1717 di Kebon Besar Kecamatan Batuceper, Aria Yudhanegara wafat tahun 1718 di Cikolol dan pada tahun yang sama Aria Wangsakara menutup usia di Ciledug dan di makamkan di Lengkong Kiai.
Daerah di sekitar benteng pertahanan yang dibangun ketiga maulana disebut masyarakat dengan istilah daerah Benteng. Hal ini turut mendasari sebutan Kota Tangerang yang dikenal dengan sebutan Kota Benteng.