Ada satu hal yang mungkin banyak orang tidak tahu, yaitu adanya efek plasebo. Efek plasebo adalah efek yang dirasakan positif oleh pasien seolah karena mendapatkan cara pengobatan itu, padahal apa yang diterima bukan obat ysng sebenarnya itu. Apakah itu berarti pasien sudah sembuh? Tentu tidak. Pasien yang hanya mengalami efek plasebo, tinggal menunggu waktu penyakitnya muncul kembali.
Dalam dunia uji klinik, secara internasional efek plasebo cukup tinggi, bahkan dapat mencapai 25-30%, dan ada yang lebih. Artinya apa? Sekitar 25-30% pasien yang mendapatkan "bukan obat yang sebenarnya" juga merasa sembuh seperti pasien yang mendapat obat sebenarnya. Bedanya akan tampak kemudian. Pasien yang hanya merasakan efek plasebo akan mengalami lagi masalahnya.
Kebetulan saya pernah melakukan beberapa kali uji klinik. Saya juga mendapatkan sekitar 30% subyek yang mendapat plasebo atau "bukan obat yang sebenarnya" juga merasa mengalami perbaikan. Konsekuensinya, setelah uji klnik berakhir, para pasien itu harus saya berikan obat yang sebenarnya. Ini merupakan bentuk pertanggungjawaban etik dan sekaligus ilmiah dalam uji klinik.
Kelompok pasien yang mendapat plasebo atau boleh juga kelompok obat standar mutlak diperlukan sebagai pembanding untuk menyimpulkan bahwa obat baru tersebut memang benar bermanfaat.
Dokter juga manusia
Pada zaman Hipokrates dulu, para dokter dianggap manusia setengah dewa, seolah tidak pernah salah. Kini tentu saja anggapan itu terdengar konyol dan membuat kita tertawa terpingkal-pingkal. Pastilah dokter bisa salah, bisa tidak ilmiah, bisa melanggar etika, bisa ikut menjual produk tidak ilmiah, bisa terseret dalam iklan bohong, bisa juga mengiklankan diri, bisa juga terlibat korupsi, bisa salah ketika menjadi pembimbing penelitian, bisa protes ketika gajinya hanya di bawah UMR, dan mungkin ada seribu bisa lainnya. Dokter juga manusia, bukan? Apalagi dokter yang tidak mau atau tidak sempat meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan klinisnya.
Kesalahan memberikan informasi bahkan juga disampaikan oleh dokter yang hanya berdasarkan informasi dari "mbah Google" yang dianggap pasti benar. Akibatnya, masyarakat meneruskan informasi itu bahkan menerapkan dalam kehidupannya.
Oleh karena itulah tetap diperlukan adanya institusi yang harus siap mengingatkan agar dokter tidak merasa diri sebagai manusia setengah dewa, apalagi dengan menyeret nama pejabat. Di pihak lain, dokter jangan merasa masukan atau kritik yang disampaikan oleh sejawatnya langsung dilawan dengan cara yang tidak ilmiah dan profesional. Lambat atau cepat cara seperti ini pada akhirnya akan menjatuhkan nama baiknya sendiri.
Hal yang mutlak penting juga, dokter harus memahami bahwa apa yang dilakukan dalam prakteknya benar harus berdasarkan temuan ilmiah terkini yang diakui secara internasional, yang dikenal dengan sebut Evidence-based Medicine (EBM). Kalau tidak, maka dokter akan jatuh menjadi sekualitas dengan para penjual produk abal-abal seperti yang marak diiklankan di TV.
Iklan bohong
Ketika dokter tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Kedokteran terkini, maka dia akan menjadi dokter tak berkualitas, bahkan bisa menjadi dokter abal-abal. Oleh karena itulah dokter jangan terseret menjadi "Jeng Anu" atau "Jeng ahli kanker", atau yang lain seperti yang sering ditayangkan di iklan jualan TV. Siapa bilang produk abal-abal yang diiklankan itu tidak ramai pembeli? Siapa bilang tidak ada nama terkenal yang membeli produk abal-abal itu?
Masyarakat sering mengatakan "sembuh" setelah mengonsumsi produk abal-abal yang diiklankan di TV itu. Lalu masyarakat mengatakan "hebat dia", karena itu pembelinya atau pasiennya banyak. Inilah yang sering dijadikan pegangan oleh penjual abal-abal di iklan TV itu. Celakanya, ini diberlakukan juga untuk dokter. Banyak orang mengatakan, dokter itu pasiennya banyak, berarti dia hebat. Padahal masyarakat tidak benar mengerti, arti sembuh itu yang seperti apa. Bukan berarti kalau gejalanya hilang, penyakitnya pasti sudah hilang juga.
Oleh karena itulah di dunia kedokteran sering juga obat yang sudah beredar sekian tahun, kemudian ditarik dari peredaran. Mengapa? Karena berdasarkan uji klinik fase empat, ternyata obat atau cara pengobatan itu menimbulkan akibat buruk.
Masyarakat juga tidak mengerti bahwa nomor registrasi BPOM pada kemasan produk kesehatan, bukan berarti BPOM menyetujui manfaat dan keamanannya. Karena itu banyak sekali produk herbal dan kosmetik yang kemudian ditarik dari peredaran.
Cara terhormat dan ilmiah profesional
Menghadapi kontroversi Dr Terawan ini, tentu diperlukan cara yang terhormat dan ilmiah profesional. Kontroversi ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui pernyataan dan testimoni dukungan, walaupun menggebu-gebu melalui video sekalipun.
Pihak MKEK IDI tentu punya alasan mengapa pada akhirnya sampai mengeluarkan Surat Keputusan itu, dan ini harus kita hargai karena merupakan keputusan organisasi, bukan pribadi. Karena itu saya pikir tidak benar kalau ada yang menduga keputusan itu hanya karena alasan pribadi. Sebagai informasi, Ketua MKEK yang menandatangani Surat Keputusan itu ternyata juga seorang Spesialis Radiologi, sama dengan spesialisasi Dr Terawan.
Saya kembali pada pernyataan Promotor Dr Terawan ketika mengambil Program Doktor di Universitas Hasanudin, Prof Yusuf Irawan. Ikuti sarannya, "Harus ada uji klinik". Tentu sesuai dengan persyaratan ilmiah sebuah uji klinik.
Saya yakin sebagai seorang ilmuwan dan profesional, Dr Terawan akan dan mampu membuktikannya. Hasil uji klinik merupakan bukti ilmiah yang tak terbantahkan, walaupun kemudian harus didukung oleh uji klinik di banyak tempat lain.