JAKARTA, KOMPAS.com - Dua tahun telah berlalu sejak Kampung Akuarium di Penjaringan, Jakarta Utara, digusur pada 11 April 2016.
Rabu (11/4/2018) siang, udara panas menyambut ketika Kompas.com menginjakkan kaki di bekas kampung yang berada di belakang kompleks Museum Bahari tersebut.
Puing reruntuhan bangunan, masih berserakan di kawasan yang dulunya dihuni oleh ribuan orang tersebut. Dua tahun berlalu, momen pilu penggusuran rupanya masih tersimpan di memori sejumlah warga Kampung Akuarium.
Djuronah (46) masih ingat ketika ia berjuang mempertahankan rumah yang ia bangun bersama mendiang suaminya. "Sekarang saya pakai tongkat karena jatuh waktu penggusuran itu," kata Djuronah.
Baca juga : Melihat Kondisi Shelter di Kampung Akuarium
Djuronah menuturkan, penggusuran tersebut tidak hanya menghilangkan tempat tinggalnya, tapi juga sumber penghasilannya. Usaha rumah kontrakannya, ikut digusur bersama sedikitnya 200 rumah lain saat itu.
Perubahan kondisi ekonomi setelah penggusuran juga dirasakan Tedi Kusnaedi (59). Tabungan yang disiapkan untuk biaya kuliah anaknya, habis untuk bertahan hidup di tenda-tenda selepas penggusuran.
"Anak saya SMK doang, kan gak bisa kuliah karena digusur. Tabungan untuk kuliah akhirnya dipakai buat hidup setelah rumah digusur," katanya.
Hidup di Tenda Darurat
Selama dua tahun terakhir, Tedi dan Djuronah pun bertahan di tenda dan gubuk darurat yang didirikan di atas puing bangunan. Tedi menuturkan, tinggal di tenda dan gubuk darurat bukanlah hal yang mudah.
Ia mengatakan, hidup di bawah tenda darurat bukan hanya mengorbankan kenyamanan, tetapi juga bertaruh nyawa. Ayah empat anak itu mengatakan, setidaknya ada 24 warga tenda darurat yang meninggal dunia dalam dua tahun terakhir.
"Tingkat kematian sangat tinggi waktu itu akibat hidup di gubuk yang tidak layak. Dalam dua tahun hampir ada 24 orang. Artinya ada satu orang yang meninggal setiap bulannya" kata Tedi.
Baca juga : Anies: Kampung Akuarium Sudah Dibongkar, Kami Mau Bangun dari Puing-puing
Di balik segala risiko tersebut, Tedi dan Djunaroh memilih bertahan bersama lebih dari 80 kepala keluarga (KK) lainnya. Tedi beralasan, Kampung Akuarium telah menjadi tempatnya mencari nafkah sejak lama.
"Kami di Kampung Akuarium tidak sekejap, pak. Sudah tiga puluh tahun saya menata kehidupan dan mencari nafkah untuk keluarga di sini," katanya.
Oleh karena itu, ia juga menolak direlokasi ke sejumlah rumah susun sebagaimana ditawarkan Pemerintah. "Tidur di gedung mewah rusun begitu kalau perutnya keroncongan juga enggak mungkin bisa tidur," kata Tedi.
Alasan yang sama dikemukakan oleh Hendri (36). Ia mengatakan Kampung Akuarium telah menjadi satu-satunya tempat tinggal sejak lahir. "Saya dari kecil sudah di sini, bekerja juga di sini. Kalau harus pindah, ya kita bingung juga," katanya.
Baca juga : Dibangun Shelter, Warga Kampung Akuarium Pindah ke Tenda Darurat
Djuronah punya cerita berbeda. Janda satu anak ini sempat pulang ke kampung halamannya di Brebes, Jawa Tengah, beberapa bulan setelah penggusuran.
Namun, ia memilih kembali ke ibu kota supaya dekat dengan keluarga anaknya, yang tinggal di Cakung, Jakarta Timur. "Kalau saya di Brebes, lagi kangen sama anak saya, kan mahal bayar busnya. Kalau di sini, Rp 10.000 bisa buat pulang-pergi," katanya.
Pindah ke "Shelter"
Sudah sebulan terakhir warga Kampung Akuarium dipindahkan ke empat buah bangunan shelter yang berdiri di sana. Tedi mengatakan, ada 88 unit shelter yang disediakan untuk 85 KK yang terdaftar.
"Saya bilang dengan ada shelter ini cukup membantulah. Hidup yang layak, tidur yang layak, kebocoran dan kehujanan juga sudah enggak. Meskipun, ya, masih jauh dari rumah kami yang dulu," kata Tedi.
Baca juga : Melihat Kondisi di Dalam Tenda Warga Kampung Akuarium
Kini, Tedi dan warga lainnya tengah menunggu realisasi pemerintah dalam membangun kembali kampung yang telah rata dengan tanah itu. Bagi mereka, shelter hanyalah persinggahan sementara.
"Shelter ini alhamdulillah ada sedikit kenyamanan. Kita tunggulah rumah permanennya dalam dua tahun ini," kata Hendri.