JAKARTA, KOMPAS.com - Korban bom Thamrin pada Januari 2016, Ipda Denny Mahieu, menilai tuntutan hukuman mati bagi terdakwa Aman Abdurrahman sangat wajar.
Hari ini, dia datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menyaksikan sidang pembacaan tuntutan terhadap Aman.
"Ya sangat wajar. Orang menuntut begitu atas dasar barang bukti yang ada dan fakta-fakta di lapangan," ujar Denny di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (18/5/2018).
Denny percaya jaksa memiliki berbagai pertimbangan yang tepat dalam menuntut hukuman mati bagi Aman.
Baca juga: Secarik Kertas Aman Abdurrahman untuk Sang Pengacara...
Dia menilai tuntutan itu wajar karena Aman disebut tidak hanya menggerakkan orang untuk melakukan teror bom Thamrin, tetapi juga aksi teror lainnya.
"Kalau dia menggerakkan sampai kejadian beberapa wilayah itu, ya tentunya korbannya banyak, ya wajar," kata Denny.
Denny kini mulai memaafkan kejadian lebih dari dua tahun silam yang menyebabkan dia terluka parah. Saat itu dia berada di pintu pos polisi Sarinah, salah satu titik ledakan.
Pada saat dihadirkan sebagai saksi beberapa waktu lalu, Denny mengaku tidak bisa tidur tanpa mengonsumsi obat pereda nyeri. Ia masih merasakan sakit di bagian kepalanya.
Baca juga: Kata Jaksa, Aman Abdurrahman Dijuluki Singa Tauhid oleh Kelompoknya
Telinga kanan Denny juga sudah tidak bisa lagi mendengar. Ia juga merasa kondisi badannya menurun sejak peristiwa itu.
Meski ia mengaku tak memiliki gangguan psikologis pasca-ledakan bom itu, ada satu hal yang ia sesali.
Denny menyesalkan dirinya tidak lagi bisa bersujud saat menunaikan shalat karena kondisi pahanya yang terluka parah.
Selain paha, Denny menyebut bagian tubuhnya yang terluka parah adalah tangan kanan.
Baca juga: Ini 6 Hal yang Memberatkan Tuntutan Mati Aman Abdurrahman
Ada 6 hal yang memberatkan tuntutan terhadap Aman.
Aman dinilai menggerakkan berbagai aksi teror, yakni bom Thamrin, bom Gereja Oikumene Samarinda, bom Kampung Melayu, penyerangan Mapolda Sumatera Utara, dan penembakan polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat.