Pada awal Januari 1967, 50 bus Robur mulai melayani berbagai trayek yang dipilih PT Tavip, perusahaan pengelolanya.
PT Tavip membagi 50 bus ke beberapa trayek.
Untuk jalur Grogol-Lapangan Banteng sejumlah 25 bus; Jembatan Semanggi-Harmoni-Lapangan Banteng 5 bus; Stasiun Jatinegara 5 bus, dan untuk cadangan PT Tavip menyediakan 5 bus.
Dengan beroperasinya bus Robur, maka operasional bus-bus lama akan disalurkan untuk jalur di Kebayoran Baru dan Tanjung Priok.
Tarif bus Robur
Bus Robur yang berkapasitas 29 penumpang itu, beroperasi saat pemerintah baru memberlakukan kebijakan moneter berupa penerbitan uang baru dan pemotongan nilai tukar rupiah sebesar 1.000 persen.
Dengan adanya kebijakan tersebut, pecahan Rp 1.000 sama dengan Rp 1.
Selaku penyelenggara transportasi saat itu, PT Tavip memasang tarif jauh-dekat Rp 20 sen untuk uang baru dan Rp 200 untuk nilai pecahan lama.
Pada tahun yang sama, tarif Robur naik menjadi Rp 50 sen dan kemudian naik lagi menjadi Rp 5.
Pada April 1968, pemerintah menaikkan lagi tarif ini menjadi Rp 10.
Namun, kenaikan tarif tidak dibarengi dengan fasilitas yang memadai. Bus Robur memiliki ventilasi kendaraan yang tidak sesuai dengan kondisi iklim Indonesia.
Jendela pada samping kanan-kiri tidak dapat dibuka. Kondisi tersebut menyebabkan penumpang merasa pengap dan kegerahan karena tidak leluasanya udara yang masuk ke bus.
Para warga Ibu Kota mulai mengeluhkan kondisi bus Robur.
Pada tahun 1980-an, eksistensi bus Robur mulai meredup. Setelah hampir 20 tahun beroperasi di Ibu Kota dan sejumlah daerah di Indonesia, keberadaan bus Robur mulai ditinggalkan. Berganti dengan metromini yang dianggap lebih layak.