JAKARTA, KOMPAS.com - Stadion Utama Gelora Bung Karno yang dibangun untuk Asian Games 1962 sempat menuai polemik soal lokasinya.
Dalam buku Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno (2004), Julius Pour menulis Presiden Soekarno sebenarnya berharap kompleks olahraga itu dibangun di dekat pusat kota yakni sekitar Jalan Thamrin dan daerah Menteng.
Pilihannya antara lain Bendungan Hilir, Karet, dan Pejompongan. Jakarta sendiri kala itu masih seperti kampung besar.
Belum ada jaringan jalan raya yang menghubungkan kota, pun gedung-gedung pencakar langit. Bahkan master plan kota dan land use planning pun Jakarta tak punya.
Baca juga: Riwayat Stadion Utama GBK dan Ambisi Soekarno
Gagasan membangun sports complex di kawasan Bendungan Hilir ditolak Gubernur DKI Jakarta Soemarno Sosroatmodjo. Alasannya, daerah Bendungan Hilir sudah padat penduduk.
Pembangunan di kawasan itu bisa menyebabkan dana pembangunan bengkak karena harus membebaskan tanah dan memindahkan penduduk. Soemarno menyarankan, kompleks olahraga dibangun di Rawamangun yang saat itu masih banyak lahan kosong.
Maka suatu sore pada 1959, Soekarno mengajak arsitek kenamaan kala itu, Frederik Silaban, untuk terbang dengan helikopter kepresidenan mengelilingi Jakarta.
Soekarno waktu itu menunjuk Dukuh Atas sebagai lokasi kompleks olahraga. Namun usulan ini ditentang oleh Silaban yang meyakini bakal ada kemacetan jika kompleks olahraga dibangun di Dukuh Atas.
Selain itu, Dukuh Atas yang dibelah aliran Sungai Grogol juga berpotensi banjir. "Di sana kita kan bisa membikin sebuah terowongan," kata Soekarno, yang ngotot ketika itu.
Baca juga: Kini Kompleks GBK Senayan Lebih Indah
Silaban kemudian meminta helikopter terbang lebih jauh ke selatan. Di atas Senayan, barulah terbayang sebuah kawasan olahraga yang bisa dihubungkan dengan Monas dan pusat pemerintahan di Menteng, dengan sebuah jalan lurus yang kelak dinamai Jalan Jenderal Sudirman.
Sejak tahun 1959, Dewan Asian Games Indonesia (DAGI) mulai mendekati warga yang bermukim di Kampung Senayan. Senayan saat itu merupakan kampung di pinggiran Jakarta, bersebelahan dengan Kampung Petunduan, Kampung Kebun Kelapa, serta Bendungan Hilir yang juga masuk dalam lokasi pembangunan seluas kurang lebih 300 hektar.
Nama Senayan dipilih lantaran wilayahnya paling luas dan kampung ini lah yang semua permukimannya tergusur.
Atas nama kepentingan bangsa, 60.000 lebih warga berangsur-angsur merelakan tanahnya untuk kemudian direlokasi ke Tebet, Slipi, dan Ciledug.