JAKARTA, KOMPAS.com — Pada Senin (16/7/2018), Edy Haryadi, warga Jakarta Timur, mengunggah suatu cerita mengenai obat kanker Traztuzumab yang tidak lagi dijamin Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Dalam unggahannya tersebut, ia menceritakan, istrinya yang bernama Yuniarti Tanjung (46) menderita sakit kanker payudara HER2 positif.
Kejadian ini berawal pada Desember 2017 ketika keluarga melihat Yuniarti mengalami pembengkakan kelenjar getah bening di leher sebelah kanan.
Baca juga: Cerita Jihan, Mahasiswi UNY Berjuang Lawan Radang Usus Saat BPJS Diblokir
Sebulan kemudian, Yuniarti datang ke Puskesmas Duren Sawit, Jakarta Timur, untuk memeriksakan diri.
Dokter puskesmas kemudian merujuknya ke bagian spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Budhi Asih, Jakarta Timur.
Di RSUD Budhi Asih, dokter yang memeriksa Yuniarti mencurigai benjolan tersebut adalah kanker.
Edy menceritakan, karena tidak ada dokter spesialis kanker atau onkologi di RSUD Budhi Asih, pada awal Februari 2018, Yuniarti dirujuk ke RS Persahabatan, Jakarta Timur.
Di RS Persahabatan ini, Yuniarti menjalani biopsi atau pengambilan jaringan pada leher kanannya. Dan hasilnya, Yuniarti positif menderita kanker.
Menurut hasil pemeriksaan laboratorium Patologi Anatomi (PA) RS Persahabatan, kanker ini sudah menyebar dengan dugaan sumber utama berasal dari payudara.
Untuk memastikan dugaan itu, dokter yang menangani mengirimkan hasil pemeriksaan tersebut ke bagian laboratorium PA rumah sakit untuk diperiksa lebih teliti dengan pemeriksaan Imuno Histo Kimia (IHK).
Pada 10 Mei 2018, hasil IHK menunjukkan Yuniarti dinyatakan menderita kanker payudara HER2 positif yang sudah mengalami penyebaraan dan berada di stadium 3B.
Pada 24 Juni 2018, dokter memberikan tiga resep obat kemoterapi dan satu obat lain, yakni Herceptin atauTraztuzumab.
Permasalahan muncul ketika apotek RS Persahabatan menolak resep Herceptin atau Trastuzumab dengan alasan sejak 1 April 2018 obat ini dihentikan penjaminannya oleh BPJS Kesehatan.
Saat dihubungi Kompas.com, Edy menyampaikan harapannya agar pihak BPJS mengubah kebijakan ini.
Apalagi, menurut Edy, tanpa jaminan dari BPJS Kesehatan dirinya kesulitan membeli obat itu yang di pasaran harganya mencapai Rp 25 juta.