PENGHENTIAN seluruh proyek reklamasi menjadi topik hangat pada pekan ini. Bukan karena 13 pulau tak boleh dilanjutkan, dan adanya kemungkinan digugat, tetapi "kontribusi tambahan" triliunan rupiah yang digagas mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok yang diberikan pengembang reklamasi kepada Pemprov DKI membuka kejanggalan baru yang akan diselidiki!
Dalam program AIMAN, saya mengawali dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan soal kontribusi tambahan ini.
"Ini salah satu contoh bahwa belum apa-apa sudah ada kontribusi tambahan. Padahal belum dijalankan, nah itu semua nanti kita akan catat," kata Anies Baswedan kepada wartawan dalam konferensi pers soal penghentian proyek reklamasi.
Mari menengok ke belakang sebentar.
Kontribusi tambahan merupakan kebijakan Ahok yang awalnya diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta.
Raperda ini ditolak pada November 2015 oleh DPRD DKI Jakarta. Mereka menolak kenaikan kontribusi yang ditetapkan Ahok dari sebelumnya 5 persen menjadi 15 persen.
Mereka meminta agar kenaikan itu dicantumkan dalam peraturan gubernur. Ahok menolak dan mencoret rekomendasi DPRD. Ahok menulis di atas kertas rekomendasi itu, “Gila, kalau seperti ini bisa pidana korupsi.”
Selanjutnya, terkait isu reklamasi ini, satu orang anggota DPRD DKI Jakarta Sanusi terjerat operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sanusi divonis 10 tahun penjara karena menerima suap dari Bos PT Agung Podomoro Ariesman Widjaja (pengembang reklamasi Pulau G) sebesar Rp 2 miliar.
Namun, belum lagi soal aturan kontribusi tambahan ini selesai dibahas, sejumlah pengembang reklamasi telah membayar kewajiban triliunan rupiah untuk mendapatkan Izin reklamasi, di antaranya adalah Agung Podomoro.
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, mantan Presiden Direktur Agung Podomoro Ariesman Widjaja, pada September 2016, mengungkapkan telah membayar kewajiban kontribusi sebesar Rp 1,6 Triliun kepada Pemprov DKI Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta kala itu Ahok mengakui, nilai uang itu adalah kewajiban yang dikerjakan pengembang dalam pembangunan rumah susun.
"Dia sudah kerjakan Rp 1,6 triliun, tapi belum diserahkan kepada kami semua. Rumah susun paling banyak," kata Ahok di kawasan Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta (29/9/2016).
Dalam kesempatan wawancara di program AIMAN yang akan tayang Senin (1/10/2018) pukul 20.00 wib di KompasTV, Anies keberatan menyebut nama dalam kasus ini.
Ia berkomitmen untuk menyelidiki siapa pun yang mungkin berjalan menabrak aturan dan melanggar hukum.
Proyek reklamasi sudah membentuk 4 pulau (C,D,G,N). Pulau C dan D milik grup Agung Sedayu, Pulau G milik Agung Podomoro, sementara Pulau N, milik Pelindo II, di kawasan Tanjung Priok untuk bongkar muat. Sisanya, ke-13 pulau lainnya, dipastikan tidak akan dibangun.
Lalu, bagaimana nasib 4 pulau yang sudah telanjur dibangun? Anies mengungkapkan, Pemprov DKI Jakarta akan menata ulang dengan peraturan yang baru.
Saya bertanya soal kemungkinan keuntungan yang hilang dari penyetopan proyek reklamasi yang pernah dikatakan Ahok.
"Saya kenapa ingin reklamasi itu dikasih kontribusi tambahan. Karena waktu itu kami hitung-hitung nih, kalau (selama) 10 tahun penjualan (naik) 10 persen (per tahun), itu kontribusi ke DKI kira-kira bisa Rp 179 triliun, kalau 15 persen semua pulau mereka jualnya bertahap. Ini hitungan kasar," kata Ahok dalam acara peluncuran proyek untuk Asian Games di Velodrome, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (22/6/2016). Baca: Ahok: DKI Bisa Dapat Rp 179 Triliun dari Kontribusi Tambahan Reklamasi
Anies menjelaskan kepada saya, mengelola pemerintahan bukan soal untung-rugi, tapi soal keadilan. Anies menyoroti bagaimana aturan (reklamasi) bisa dilanggar oleh kaum berpunya, tetapi untuk masyarakat tak mampu, dilakukan semena-mena.
Jelas diakui, triliunan rupiah telah digelontorkan sejumlah pengembang reklamasi.
Cerita panjang tentang reklamasi dipastikan tak akan berhenti sampai di sini. Gugatan balik mungkin saja terjadi. Manuver politik sebagai ekses dari proyek ratusan bahkan ribuan triliun rupiah ini hampir pasti bergolak di depan mata.
Kita tunggu perkembangan selanjutnya.
Saya Aiman Witjaksono...
Salam!