PALU, KOMPAS.com - Anak-anak di pengungsian Balai Kota Palu antusias mendengarkan cerita boneka dari relawan di tenda darurat Balai Kota, di Tanamodindi, Mantikulore, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (10/10/2018).
Mereka tampak bersamangat ketika diminta bernyanyi. Saat diminta bercerita menggunakan boneka tersebut, mereka berlomba-lomba unjuk jari.
Hanya tawa dan canda yang ada diraut wajah anak-anak tersebut, seakan lupa dengan peristiwa gempa dan tsunami yang terjadi pada Jumat (28/9/2018), yang meluluhlantakkan Palu, Sigi dan Donggala.
Lebih dari 2.000 sekolah terdampak bencana di Palu dan Donggala, baik rusak ringan sampai hancur total.
Pantauan Kompas.com, ada sekitar 50 anak-anak yang berkumpul di tenda darurat ini untuk mendengarkan dongeng, bernyanyi, dan belajar.
Kegiatan di tenda biru milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu dilakukan setiap hari pada pukul 10.00 Wita dan pukul 16.00 Wita.
Ara, salah satu anak yang ikut mendengarkan dongeng ini tampak aktif dan bersemangat mengikuti gerakan-gerakan tarian yang diajarkan gabungan oleh relawan gabungan Pekerja Sosial Anak, Kemensos RI, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Senang dapat hadiah, tadi aku bisa jawab pertanyaan dari kakak-kakak,” ucap Ara, semangat.
Pulihkan trauma anak
Salah satu relawan, Uncle Teebob mengatakan, layanan dukungan sosial ini berguna untuk memulihkan kembali psikis dari anak-anak.
“Ini untuk mengalihkan perhatian mereka tentang apa yang sudah mereka alami terutama anak-anak,” ucap Teebob, di Balai Kota, Tanamodindi, Mantikulore, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (10/10/2018).
Metode yang dilakukan untuk memulihkan anak-anak pascagempa ini yakni dengan mengajak mereka bermain dan bernyanyi.
“Kita kembali menghidupkan fungsi sekolah yang harusnya mereka jalani dengan situasi seperti ini, maka dari itu kita ajak dulu mereka bermain, gambar sambil bernyanyi, yang disisipkan dengan belajar,” ujar Teebob.
Mengetahui trauma anak, menurut dia bisa dilihat dari aktivitasnya sehari-hari yang berbeda dari biasanya.
“Terkadang juga kita bisa melihat dengan cara dia gambar dari tarikan garisnya. Saat ia gambar dan mewarnai pun bisa kalau dia mewarnainya agak gelap, berarti psikisnya sudah agak terganggu,” ucap Teebob.
Anak-anak rindu sekolah
Dini, salah satu relawan Komunitas Sunrise School mengatakan, pada Kamis (11/10/2018) anak-anak sudah mulai belajar.
“Sudah mulai belajar seperti di sekolah sementara kelas 1 dan kelas 2 digabung dulu, yang lainnya pisah. Ada beberapa mentor nanti yang mengajar,” ucap Dini.
Menurut dia, anak-anak di pengungsian merindukan belajar di sekolah sehingga ketika ada tempat yang layak untuk belajar, mereka sangat antusias.
“Mereka rindu sekali sekolah, karena kondisi sekolahnya rusak semua di sini. Lampu pun di tenda tak ada. Makanya mereka sangat antusias belajar,” ucap Dini.
Tahap awal yang dilakukan para pengajar adalah melihat dan melakukan pemulihan pada psikis anak-anak yang merasakan gempa Palu, untuk mencegah anak-anak trauma.
“Memang untuk awal kita masih melihat perkembangan mereka, kita lihat psikisnya dulu yang menjadi target utama kita,” ucap Dini.
Dini mengatakan, hadiah yang ada di tiap kelas pun menjadi daya picu anak-anak untuk mengikuti kelas ini.
“Setiap kita belajar, pasti kita bagikan hadiah ke anak-anak entah itu buku, jajanan, dan perlengkapan mandi, untuk memberi semangat mereka untuk datang belajar,” ucap Dini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.