Parno hafal betul seluk beluk Istiqlal. Dia bercerita, Istiqlal dibangun dengan material dalam negeri.
Semennya hanya menggunakan semen khusus dari Semen Gresik.
Mbah Parno bertugas menjaga semen yang diantar naik kereta agar tidak dicampur dengan kiriman semen lainnya di Stasiun Gambir.
"Hanya kubahnya yang dari Jerman," ujar Parno.
Tak cuma upah yang lebih rendah yang membuat para kuli tak ada yang mau bekerja jadi pelayan para insinyur dan arsitek. Galaknya Frederich Silaban juga jadi salah satu sebab.
Namun, Mbah Parno sudah terlanjur mengambil kesempatan itu.
"Pak Silaban itu... Wah galak banget, (orang) Batak kan dia," kata Mbah Parno.
Namun menurut Mbah Parno, hanya dirinya yang bisa dipercaya sang arsitek.
Mbah Parno lah yang hafal kegemaran Frederich, mulai dari kopi, makan siang, bir, hingga martabak khas timur tengah di bilangan Harmoni.
Keduanya pun menjadi akrab. Keluarga Silaban bahkan pernah mencari Mbah Parno untuk mengucapkan terima kasih beberapa tahun lalu.
"Pernah sekali waktu saya bilang kalau saya mendoakan Pak Silaban masuk Islam. Dia tidak marah," kata Mbah Parno.
Baca juga: Ingin Selalu Dekat Istiqlal, Mbah Parno Tak Mau Tempati Rumah dari Kemenag
Selain sosok Silaban, Mbah Parno juga kerap melayani Panglima TNI kala itu, Jenderal Soeharto. Soeharto tak kalah galaknya dengan Silaban.
Mbah Parno bahkan mengaku pernah mau ditembak. Saat itu, Mbah Parno menyuguhi pisang ke meja Soeharto. Namun tak berapa lama, ajudan Soeharto memanggilnya.
"Saya dipanggil, dia pegang pistol, tanya 'Kamu mau ditembak?'," ujar Parno.
Parno saat itu hanya kebingungan lantaran tak tahu apa salahnya.