"Saya dipanggil, dia pegang pistol, tanya 'Kamu mau ditembak?'," ujar Parno.
Parno saat itu hanya kebingungan lantaran tak tahu apa salahnya.
"Dia marah karena pisangnya rasanya sepat. Waktu beli di Pasar Baru kan saya beli saja pisang yang gede, pisang raja. Rupanya dia tidak suka," kata Parno.
Parno pun meminta maaf. Namun tak lama, Soeharto menghampiri dirinya untuk minta maaf. Soeharto mengaku hanya bercanda.
Setelah menjadi kuli dan pelayan, Mbah Parno ditawari tetap bekerja di Istiqlal sebagai pengantar surat.
Setiap pagi, ia berjalan kaki dari kontrakan mungilnya di Gang Mangga, Kemayoran ke Masjid Istiqlal.
Untuk mengantar surat di Gedung Pos di Lapangan Banteng pun ia kerap berjalan kaki.
"Saya enggak mau naik angkutan umum. Sering diajak bareng sama orang Kemenag dan orang Setneg pun saya tidak mau. Lebih suka jalan kaki," kata Parno.
Baca juga: Olah Air Limbah, Masjid Istiqlal Bisa Hemat Rp 2 Miliar untuk Air Bersih
Seiring bertambahnya usia, pekerjaan Mbah Parno semakin mudah. Di hari tuanya, ia bekerja sesukanya mengatur saf salat. Ia bahkan tak perlu absen.
Tak ada dorongan lain yang membuat Mbah Parno betah bekerja puluhan tahun di Istiqlal selain ibadah.
Penghargaan berupa rumah yang diterimanya dari Kemenag pada Jumat (4/1/2019) lalu pun tak pernah diharapkannya.
"Kerja itu yang penting mental kuat. Jangan mencuri, jangan menipu. Selamat keluarga sehat, selamat, hidup cukup, itu sudah sangat bersyukur," kata Mbah Parno.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan