KOMPAS.com - Pelarangan pengendara sepeda motor atau mobil yang mengemudi sambil menggunakan global positioning system (GPS) tengah hangat diperbincangkan masyarakat.
Hal tersebut menimbulkan pro dan kontra, karena menggunakan GPS diklaim dapat menurunkan konsentrasi pengendara.
Sementara, tidak dapat dipungkiri bahwa GPS memudahkan seseorang yang tidak memahami jalan atau rute ketika bepergian.
Berikut lima fakta seputar isu yang tengah hangat ini.
Aturan terkait penggunaan GPS pada telepon seluler ketika berkendara bermula dari gugatan yang dilayangkan Toyota Soluna Community.
Hal tersebut lantaran saat ini penggunaan GPS telah menjadi kebutuhan, terutama bagi para pekerja transportasi online.
Pemohon melihat pemberitaan di media online nasional yang menyebut pihak kepolisian akan menilang pengemudi ojek online yang memakai GPS ketika berkendara pada Maret tahun lalu.
Ketua Umum Sanjaya Adi Putra mengatakan, pihaknya mengajukan uji materi karena melihat perkembangan zaman, terutama pada frasa "menganggu konsentrasi" yang bias makna.
Pemohon meminta peninjauan ulang terhadap Pasal 106 Ayat 1 dan Pasal 283 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Berikut bunyi pasal tersebut:
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.
Baca juga: Dilema Keputusan MK soal Larangan Penggunaan GPS Saat Berkendara
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan yang diajukan komunitas otomotif itu. Dalam sidang yang diketuai Anwar Usman, MK menilai permohonan tersebut tidak beralasan secara hukum.
Meskipun demikian, MK juga memahami penggunaan GPS membantu pengemudi ketika bepergian.
Akan tetapi, penggunaan GPS diklaim akan merusak konsentrasi pengendara dikarenakan pengemudi akan melakukan dua aktivitas sekaligus.
Frasa penuh konsentrasi mempunyai tujuan untuk melindungi kepentingan umum yang lebih luas akibat konsentrasi pengemudi bisa terganggu.