JAKARTA, KOMPAS.com - Angin sepoi-sepoi pada siang itu membuat Hasanudin terlelap sambil menyandarkan kepalanya pada sebuah bangku.
Namun berselang beberapa menit, ia terpaksa bangun karena suara seorang pelanggan.
"Pak mau cukur rambut, Pak," ucap pelanggan tersebut sembari menepuk bahu Hasan.
Hasan kemudian mengucek matanya dan segera mempersiapkan alat cukur rambut.
Berbekal tenda berwarna biru seadanya, pria 60 tahun tersebut menggelar sebuah tempat cukur di samping Gereja Kainonia, Jatinegara, Jakarta Timur.
Baca juga: Agus Tukang Cukur Rambut SBY Bermimpi Bisa Mengurangi Kemiskinan dari Pangkas Rambut
Dengan koper tua berisi gunting, sisir, semprotan rambut, sebuah bangku, dan peralatan lainnya, ia setia menunggu para pelanggan menghampiri dan memberinya sedikit rezeki.
Tempat cukurnya sering disebut sebagai tempat cukur DPR, atau di bawah pohon rindang.
Meski tubuhnya kini tak lagi tegap dan raut keriputnya semakin terlihat, namun tangannya masih lincah bergerak menggunting rambut para pelanggan.
Sudah 45 tahun Hasan menggantungkan hidupnya dari hasil menggunting rambut orang.
Mulai dari polisi, tentara, sopir angkot, jemaat gereja, maupun warga lainnya sudah tak asing dengan pria ini.
"Sudah 45 tahun jadi tukang cukur. Di kios 30 tahun, di sini 15 tahun," ucap Hasan saat berbincang dengan Kompas.com, Senin (11/3/2019).
Sebelum menjadi tukang cukur DPR, dirinya dahulu mencukur di sebuah kios milik kakak laki-lakinya yang terletak di seberang tempat cukurnya kini.
Setelah 30 tahun menumpang di kios tersebut, Hasan harus rela diusir oleh kakak iparnya.
"Dulu saya cukurnya di kios seberang gereja, tapi itu kan punya mamang (kakak laki-laki) saya, diusir sama istrinya. Akhirnya saya jadi tukang cukur saja di pinggir jalan ini," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Selain terusir dari kios cukur tersebut, Hasan pun kini tak lagi memiliki kontrakan.