Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Pohon Duku Berusia 100 Tahun di Condet yang Buahnya Pernah Jadi Hidangan Istana

Kompas.com - 14/03/2019, 15:31 WIB
Ryana Aryadita Umasugi,
Dian Maharani

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sebelum menjadi wilayah yang dikenal sebagai tempat penjualan parfum, Condet, Jakarta Timur pernah menjadi surganya perkebunan buah.

Dahulu, seluruh hamparan wilayah Condet tumbuh pohon duku, salak, hingga melinjo yang berdampingan dengan permukiman warga.

Namun, seiring berjalannya waktu, perkebunan ini berubah menjadi permukiman yang lebih padat hingga tempat-tempat usaha.

Dengan hanya menyisakan lahan 3 hektar 450 meter, perkebunan yang memiliki 49 jenis salak dan 1 jenis duku ini ditetapkan sebagai "Cagar Buah Condet".

"Ini kan tadinya lahan perkebunan semua. Tahun 1974 wilayah ini ditetapkan sebagai cagar buah-buahan khas Condet," ucap Kepala UPT Pusat Pengembangan Benih dan Proteksi Tanaman DKI Jakarta Ali Nurdin saat berbincang dengan Kompas.com.

Baca juga: Panen Duku Condet, Anies Panjat Tangga

Tahun 2003, salak Condet disahkan oleh Kementerian Pertanian sebagai buah khas jakarta.

Di mana pun salak Condet ditanam maupun dipasarkan, nama buah tersebut tetap melekat karena sudah dipatenkan.

Untuk mengunjungi Cagar Buah Condet cukup mudah. Tempat yang strategis dan berada tepat di jalan utama membuat lokasinya mudah ditemukan yakni di Jalan Kayu Manis No.3, Balekambang, Condet, Jakarta Timur, 

Di depan cagar ini terdapat tulisan "Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan Provinsi DKI Jakarta".

Hasil buah duku di Cagar Buah Condet, Jakarta TimurKOMPAS.com/Ryana Aryadita Hasil buah duku di Cagar Buah Condet, Jakarta Timur

Sebelum memasuki perkebunan, pengunjung akan menemui kantor pengelola Cagar Buah Condet.

Di samping kantor pengelola terdapat 30 anak tangga untuk menuruni dan menuju perkebunan. Suasana sejuk dan dingin langsung terasa begitu memasuki perkebunan.

Sejumlah petugas prasarana dan sarana umum (PPSU) terlihat sedang membersihkan area perkebunan.

"Mbak mau dicoba dukunya?" tanya seorang petugas dari atas pohon begitu melihat saya.

Saya pun langsung mengiyakan tawaran tersebut. Mencicipi buah langsung dari bawah pohonnya memang memiliki sensasi tersendiri.

Rasa manis dan kenyal terasa begitu spesial ditambah sepoinya angin.

Baca juga: Anies: Duku Condet Unik, Bertangkai

Pohon duku berusia 100 tahun

Duku yang sedang dipanen tersebut rupanya berasal dari pohon yang sudah berusia senja.

Pohon tersebut sudah menginjak usia 100 tahun. Dengan tinggi sekitar 30 meter dan buah yang rimbun, masih menunjukan produktifnya pohon itu.

"Ini usianya sekitar 100 tahun lebih," ucap Ali.

Rasanya tak kalah dengan duku yang masih berusia puluhan tahun. Ali menyebut, duku Condet memang mempunyai kelebihan tersendiri.

"Duku Condet ini bedanya abis dipetik bisa langsung dimakan. Dia manis sekali, teman saya yang orang Palembang yang tempatnya banyak duku saja bilang kalau ini lebih enak," kata dia sembari mengupas dukunya yang kesekian.

Hasil buah duku di Cagar Buah Condet, Jakarta TimurKOMPAS.com/Ryana Aryadita Hasil buah duku di Cagar Buah Condet, Jakarta Timur

Selain manis, duku ini bisa disebut minim getah.

Wajar saja jika pada zamannya, duku beserta salak ini pernah menjadi buah kesukaan Presiden Indonesia yang pertama Soekarno.

"Di buku referensi memang menyebut dulu salak dan duku condet jadi hidangan istana pada zaman Pak Soekarno. Ibu Mega pun pernah bilang itu," tuturnya.

Dari 150 pohon duku yang ada di perkebunan ini, hanya 22 pohon yang bisa dipanen.

"Tidak semua pohon berbuah hanya 22 pohon dari total 150. Artinya tidak serentak berbuah," lanjut Ali.

Sedangkan untuk buah Salak, berjumlah 3.000 pohon dan yang aktif berbuah sejumlah 200 pohon.

"Untuk Salak harusnya bisa lebih banyak pohon yang berbuah, tapi tahun 2018 lalu karena jelang berbuah terserang musibah banjir. Akhirnya sebagian besar busuk dan jadi tidak produktif lagi," jelasnya.

Untuk duku Condet, masa panennya berada di antara Februari hingga Maret. Sedangkan salak akan berbuah serentak pada akhir tahun tepatnya bulan Desember.

Perawatan khusus

Beberapa tanaman di dalam perkebunan memang sudah berusia ratusan tahun. Karena hal itu, pengelola berupaya melestarikan dengan menggunakan pupuk organik

"Karena tanahnya sudah jenuh, kami ingin memulihkan agar semua bisa berbuah," ujar Ali.

Dalam pengelolaan dan perawatannya, pengelola mengizinkan warga untuk ikut terlibat.

Ali menyebut hal ini agar pengelola dan warga bisa sama-sama melestarikan perkebunan di Condet.

"Karena memang sebelumnya kepunyaan warga 2006 sampai 2007 dibebaskan oleh pemda untuk pelestrasian agar tidak punah kita beri perawatan. Tapi warga bisa terlibat untuk perawatannya," ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pakai Pelat Palsu TNI, Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Terancam 6 Tahun Penjara

Pakai Pelat Palsu TNI, Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Terancam 6 Tahun Penjara

Megapolitan
Cerita Warga 'Numpang' KTP DKI, Bandingkan Layanan Kesehatan di Jakarta dan Pinggiran Ibu Kota

Cerita Warga "Numpang" KTP DKI, Bandingkan Layanan Kesehatan di Jakarta dan Pinggiran Ibu Kota

Megapolitan
Gerindra Jaring Sosok Calon Wali Kota Bogor, Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Jadi Pendaftar Pertama

Gerindra Jaring Sosok Calon Wali Kota Bogor, Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Jadi Pendaftar Pertama

Megapolitan
Heru Budi: Normalisasi Ciliwung Masuk Tahap Pembayaran Pembebasan Lahan

Heru Budi: Normalisasi Ciliwung Masuk Tahap Pembayaran Pembebasan Lahan

Megapolitan
Pengemudi Fortuner Arogan Pakai Pelat Palsu TNI untuk Hindari Ganjil Genap di Tol

Pengemudi Fortuner Arogan Pakai Pelat Palsu TNI untuk Hindari Ganjil Genap di Tol

Megapolitan
Dua Kecamatan di Jaksel Nol Kasus DBD, Dinkes: Berkat PSN dan Pengasapan

Dua Kecamatan di Jaksel Nol Kasus DBD, Dinkes: Berkat PSN dan Pengasapan

Megapolitan
Gerindra Buka Pendaftaran Bakal Calon Wali Kota Bogor Tanpa Syarat Khusus

Gerindra Buka Pendaftaran Bakal Calon Wali Kota Bogor Tanpa Syarat Khusus

Megapolitan
Kronologi Remaja Dianiaya Mantan Sang Pacar hingga Luka-luka di Koja

Kronologi Remaja Dianiaya Mantan Sang Pacar hingga Luka-luka di Koja

Megapolitan
Jadi Tukang Ojek Sampan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Bakar Bisa Bikin Rumah dan Biayai Sekolah Anak hingga Sarjana

Jadi Tukang Ojek Sampan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Bakar Bisa Bikin Rumah dan Biayai Sekolah Anak hingga Sarjana

Megapolitan
Harga Bawang Merah di Pasar Perumnas Klender Naik, Pedagang: Mungkin Belum Masa Panen

Harga Bawang Merah di Pasar Perumnas Klender Naik, Pedagang: Mungkin Belum Masa Panen

Megapolitan
Polisi Tangkap Pembegal Motor Warga yang Sedang Cari Makan Sahur di Bekasi

Polisi Tangkap Pembegal Motor Warga yang Sedang Cari Makan Sahur di Bekasi

Megapolitan
Tertipu Program Beasiswa S3 di Filipina, Korban Temukan Berbagai Kejanggalan

Tertipu Program Beasiswa S3 di Filipina, Korban Temukan Berbagai Kejanggalan

Megapolitan
Heru Budi Minta Kadis dan Kasudin Tingkatkan Pengawasan Penggunaan Mobil Dinas oleh ASN

Heru Budi Minta Kadis dan Kasudin Tingkatkan Pengawasan Penggunaan Mobil Dinas oleh ASN

Megapolitan
Usai Dicopot, Pejabat Dishub DKI yang Pakai Mobil Dinas ke Puncak Tak Dapat Tunjangan Kinerja

Usai Dicopot, Pejabat Dishub DKI yang Pakai Mobil Dinas ke Puncak Tak Dapat Tunjangan Kinerja

Megapolitan
Harga Cabai Rawit di Pasar Perumnas Klender Turun Jadi Rp 40.000 Per Kilogram Setelah Lebaran

Harga Cabai Rawit di Pasar Perumnas Klender Turun Jadi Rp 40.000 Per Kilogram Setelah Lebaran

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com