JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut, fenomena hujan es yang terjadi di DKI Jakarta pada Selasa (2/4/2019) sebagai fenomena alamiah.
Kepala Bidang Manajemen Observasi Meteorologi Hary Tirto Djatmiko mengatakan, fenomena hujan es biasa terjadi pada musim peralihan.
Adapun bulan April ini merupakan fase peralihan dari musim kemarau ke musim hujan.
“Di musim peralihan, radiasi matahari yang masuk ke bumi (insolation) akan sempurna diterima oleh permukaan, sehingga memungkinkan awan tumbuh menjulang apabila didukung adanya inti kondensasi awan,” ucap Hary dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/4/2019).
Baca juga: Magelang Diguyur Hujan Es, Bagaimana Bisa Terjadi?
Informasi mengenai hujan es ini viral di media sosial. Adanya hujan es di sejumlah wilayah DKI Jakarta diunggah akun instagram @jktinfo.
Tampak dalam gambar yang diunggah tersebut, butiran-butiran batu es kecil yang bertebaran di lantai. Batu es itu juga disertai air hujan.
Hary mengatakan, hujan es merupakan curah hujan dalam bentuk padat yang terdiri dari bola-bola es.
Salah satu proses pembentukan hujan es ini melalui kondensasi uap air lewat pendinginan di atmosfer pada lapisan di atas titik beku (freezing level) 0 derataj celcius.
“Es yang terjadi dengan proses ini biasanya berukuran diameter antara 5 sampai dengan 200 milimeter (mm), dengan batu-batu es besar yang berasal dari awan Cumulonimbus (Cb),” ucap Hary.
Ia mengatakan, batu-batu es (hail stone) yang telah terbentuk mulai dari bagian tengah awan sampai pada lapisan atas awan (top cloud) itu tidak semuanya mencair ketika turun ke lapisan yang lebih rendah meskipun dengan suhu yang relatif hangat.
Baca juga: Hujan Es, Petani Bawang di Semarang Terpaksa Panen Dini
Hujan es yang terkadang disertai dengan angin kencang, bahkan puting beliung, berasal dari jenis awan Cb bersel tunggal (single-cell) ataupun berkelompok (multi-cell) yang tumbuh secara vertikal di daerah yang tropis seperti Indonesia.
Jika kristal-kristal es yang telah terbentuk pada puncak awan dingin jatuh melalui lapisan awan campuran yang mengandung tetes-tetes air kelewat dingin (supercooled water), maka kristal es akan tumbuh dengan penambahan (accretion) yang mana air menjadi beku dalam kristal es dan akan membentuk embrio batu es hujan.
Hary mengatakan, embrio batu es hujan ini akan naik mengikuti arus udara ke atas (updraft) sepanjang arus masih cukup besar untuk menopang massa es.
“Sebaliknya akan jatuh batu es ini ketika kecepatan terminal mengikuti gaya gravitasi lebih besar dibandingkan arus udara ke atas,” ucap dia.
Batu es (hail) yang keluar dari sistem sirkulasi konvektif internal awan dan menuju ke bawah sepanjang penguapan (evaporasi) tidak terlalu besar akan berbentuk es.
“Malah mungkin saja membahayakan aktivitas manusia apabila diameter batu es melebihi 2 sentimeter (cm) atau terjadi secara masif,” ucap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.