JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Mudzakir, menyampaikan, pembuat berita bohong belum tentu bersalah secara pidana.
Dia menilai, yang harus dipidanakan adalah orang yang menerima berita bohong lalu menyebarkannya ke media sosial.
"Kalau itu (berita bohong) diberi tujuan kepada orang lain dan orang lain memposting kepada sehingga publik bisa membaca dan seterusnya itu sebenarnya tanggung jawabnya adalah yang memposting itu sendiri," kata Mudzakir saat bersaksi dalam kasus hoaks dengan terdakwa Ratna Sarumpaet di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (9/5/2019).
Baca juga: Sidang Ratna Sarumpaet, Saksi Sebut Kirim Pesan WhatsApp Tak Termasuk Menyebarluaskan
Mudzakir menjadi saksi meringankan yang dihadirkan tim kuasa hukum Ratna. Menurut dia, pihak yang membuat berita bohong biasanya punya niat tertentu.
Ada yang berniat untuk menyebarkan ke publik dengan tujuan membuat keonaran, ada juga untuk kepentingan sendiri dan orang orang sekitarnya.
Dia kembali mengambil contoh jika sebuah berita bohong disampaikan kepada orang lain dengan catatan tidak untuk disebarluaskan, tetapi berita tersebut sudah terlanjur meluas.
Jika begitu, pihak yang patut bertangung jawab yakni orang yang mempublikasi kebohongan itu.
"Tapi kalau misalanya itu sudah terpublikasi walaupun ada tertulis off the record ya yang bertanggung jawab adalah yang mempublikasi, tetapi karena tanggung jawab untuk keonaran tidak ada, berati target untuk membuat keonaran tidak ada," papar dia.
Baca juga: Saksi Ahli Sebut Tak Ada Keonaran Imbas Kebohongan Ratna Sarumpaet
Adapun Ratna Sarumpaet menyebarkan foto wajah lebamnya ke beberapa orang. Saat itu, dia mengaku menjadi korban pemukulan di Bandung.
Ratna menyebarkan foto wajah lebamnya itu kebeberapa orang, di antaranya Fadli Zon, Said Iqbal, dan Rocky Gerung.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.