JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyampaikan, penyelidikan atas peristiwa 21-22 Mei 2019 lebih sulit daripada menyelidiki kasus 1998.
Sebab, menurut dia, banyak bukti yang harus diverifikasi Komnas HAM, termasuk video-video yang diserahkan oleh para pelapor.
"Tantangan terbesar saat ini bukan bagaimana kita bekerja mengungkap kasus, tetapi mengklarifikasi peristiwa karena peristiwa tersebut terekam dalam banyak video. Itu bedanya dengan 98. Saat itu kan video kan terbatas. Saat ini video semua orang punya video masing-masing," ucap Anam di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (28/6/2019).
Sejauh ini, Komnas HAM menerima puluhan laporan dan 50 video sebagai barang bukti terkait 21 dan 22 Mei.
Baca juga: Ketua Ormas yang Diduga Terlibat Kerusuhan 21-22 Mei Jadi Tersangka Kepemilikan Senjata Tajam
Hal ini membuat Komnas HAM harus menelusuri tempat maupun aktor-aktor dalam video itu.
"Nah, tantangan paling besar adalah tadi setia terhadap fakta dan setia terhadap aturan. Itu yang paling penting," kata dia.
Komnas HAM, kata dia, masih akan melakukan penyelidikan hingga dua bulan ke depan. Ada tim independen yang dibentuk untuk melakukan pencarian fakta.
"Bahkan sebelum dibentuk tim Komnas HAM sendiri sudah bekerja sejak tanggal 22. Jadi respons kami cepat dan sebenarnya early warning, mekanisme early warning di internal Komnas HAM juga jalan sehingga ketika terjadi peristiwa tersebut kami bisa langsung jalan," tutur dia.
Baca juga: Polisi Tangkap 2 Orang Diduga Terlibat Kerusuhan 21-22 Mei
Kerusuhan terjadi di beberapa titik di Jakarta setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil penghitungan dan perolehan suara tingkat nasional Pemilu 2019.
Pada 21-22 Mei 2019, aksi massa yang memprotes hasil Pilpres 2019 itu berbuntut kericuhan di daerah Slipi, Petamburan dan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ada korban jiwa dan luka-luka dalam kerusuhan itu.