JAKARTA, KOMPAS.com - Belakangan, jagat maya ramai memperbincankan soal pencemaran udara di Jakarta yang sempat mencapai titik terburuk. Sejumlah foto yang menunjukkan kabut polutan di Jakarta dari ketinggian pun berseliweran di media sosial.
"Indeks kualitas udara pada 2018 menunjukkan, kualitas udara dalam kategori baik di Jakarta hanya 36 hari selama kurun 1 Januari-31 Desember 2018," ujar Direktur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin atau Puput kepada wartawan, Jumat (28/6/2019).
KPBB menyoroti sejumlah hal yang sebaiknya dipertimbangkan para pemangku kepentingan untuk menekan indeks pencemaran udara di Ibu Kota.
Baca juga: Menurut Anies, Ini Penyumbang Terbesar Polusi Udara Jakarta...
Berikut Kompas.com merangkum tiga di antaranya:
1. Razia emisi kendaraan untuk solusi jangka pendek
KPBB mencatat, emisi kendaraan bermotor menyumbang 47 persen zat pencemar di Jakarta setiap hari, sumber terbesar dibandingkan aktivitas lain. Sumber pencemaran berikutnya disusul industri dan pembangkit listrik (22 persen), debu jalanan (11 persen), kegiatan domestik (11 persen), pembakaran sampah (5 persen), dan pekerjaan konstruksi (4 persen).
Puput mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Polda Metro Jaya untuk menggencarkan razia emisi kendaraan di Jakarta.
"Kalau jangka pendek, pakai penegakan hukum. Karena kalau dimulai dari energi itu lama. Kami sudah sampaikan ke Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta sama Ditlantas Polda Metro Jaya, lakukanlah razia emisi," ujar Puput, kemarin.
Menurut Puput, efek yang ditimbulkan dari razia emisi kendaraan bakal membuat banyak pemilik kendaraan bermotor jadi lebih memperhatikan emisi kendaraannya. Apalagi, jika pemilik kendaraan yang tak lolos uji emisi dijatuhkan tilang dengan nominal yang cukup besar oleh pengadilan.
"Razia emisi itu tidak perlu tiap hari, tiga bulan sekali cukup. Dua jam saja. Katakanlah dalam dua jam itu kita merazia 100 mobil atau motor. Hanya dua kendaraan saja kendaraan yang ketahuan tidak memenuhi standar, terus ditindaklanjuti ke pengadilan, terus hakim memberikan denda Rp 2 juta," papar Puput.
"Itu kan sudah menjadi informasi yang positif untuk pengendara yang lain. 'Wah sekarang (emisi) sudah ada razia ya'. Dengan begitu, mereka akan takut dan bakal mengecek kendaraannya. Efek itu kan penting kan. Yang ditangkap cuma satu, tapi satu orang yang ditangkap, ini akan memengaruhi 10 juta orang," tambahnya.
Puput mengatakan, sebetulnya persoalan emisi sudah lama diamanatkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Seharusnya, pemilik kendaraan rutin menguji emisi kendaraannya. Namun, menurut Puput, hingga saat ini uji emisi kendaraan diperlakukan hanya sebagai "kegiatan sukarela".
"Kan undang-undangnya mengatakan, setiap kendaraan mobil dan motor beroperasi di jalan raya wajib memenuhi emisi. Itu harusnya dirazia. Ditambah lagi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang pencemaran udara. Jadi polisi dan dinas lingkungan harus bekerja sama soal itu," jelas Puput.
2. Tak cukup mengandalkan RTH
Ruang terbuka hijau (RTH) di wilayah DKI Jakarta dinilai tak signifikan dalam mengurangi tingkat pencemaran udara yang kian parah. Puput menyebutkan, sumber pencemar harus ditekan dari hulunya, alih-alih cuma mengandalkan RTH.