"RTH enggak cukup. Sumber pencemar harus ditekan. Esensi paling efektif mengendalikan pencemaran ya sumbernya dikendalikan," ujar dia.
Puput mengatakan, keberadaan RTH sifatnya hanya membantu pengurangan polusi udara, bukan faktor utama.
"Kalaupun 30 persen RTH tersebar menyeluruh di kota, itu hanya membantu penyerapan CO2 (karbondioksida) untuk tumbuhan berfotosintesis. Partikel debu bukan diserap, tapi tempel di daun, batang, begitu hujan nanti luruh ke tanah. Selain membantu oksigen, untuk menyegarkan kota. Yang bisa diserap toh hanya CO2-nya," ujar menjelaskan.
Ia menyebutkan, ada beberapa zat pencemar lain yang berada di atas ambang wajar di Jakarta, dari yang berukuran 2,5 hingga 10 mikrogram/meter kubik, sulfur, dan karbonmonoksida (CO).
Di sisi lain, masa depan pengerjaan RTH tidak begitu cerah. Dari target cakupan 9,4 persen RTH pada 2010, hingga 2019 pun KPBB mencatat bahwa Jakarta baru memiliki 6,8 persen.
Sementara dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2030, Jakarta ditargetkan akan memiliki 30 persen cakupan RTH.
"Penambahan RTH, menurut catatan kasar kami sekarang 6,8 persen. Di bawah 7 persen. Tapi, Pemprov DKI mengeklaimnya 9,8 persen sekarang, bertambah dari sebelumnya 9,4 persen. Padahal, 9,4 persen itu target untuk 2010 dan sampai sekarang belum tercapai," ungkap Puput.
3. Konversi ke bus listrik perlu diikuti konversi ke sumber energi terbarukan
Rencana PT Transjakarta meresmikan pengoperasian bus listrik di Jakarta disambut baik oleh KPBB. Bus listrik memang unggul jauh ketimbang bus berbahan bakar fosil dalam segala aspek.
"Transjakarta mau konversi ke energi listrik itu bagus dari segala aspek. Dari aspek pencemaran udara, pengendalian emisi rumah kaca, itu bagus. Dalam konteks eisiensi energi bagus, biaya operasional lebih murah, tidak bising juga," ujar Puput.
Baca juga: Polusi Udara Jakarta Parah, Pemerintah Diminta Galakkan Razia Emisi
Namun, konversi bus ke energi listrik dinilai belum menyelesaikan masalah pencemaran udara. Sebab, bahan bakar fosil, terutama batubara, masih begitu diandalkan dalam suplai energi listrik Jakarta.
"Untuk memberishkan udara Jakarta, sekali lagi betul, ini hanya semacam memindahkan problem sumber pencemar dari emisi ke aktivitas industri (PLTB/pusat listrik tenaga batubara). Kan pesimistisnya kawan-kawan di luar begitu, mobil atau bus listrik tapi pembangkitnya batubara kan sama saja bohong," ungkap Puput.
"Syukur-syukur memang bahan bakar batubara tidak digunakan lagi. Yang berikutnya harus kita kejar ya memang pembangkitnya, kan bisa pakai PLTGU (pembangkit listrik tenaga gas dan uap) bukan batubara," tambahnya.
Menurut Puput, pemakaian bus listrik memang bakal menekan tingkat polusi udara Ibu Kota. Akan tetapi, tanpa diikuti konversi pembangkit listrik dari tenaga fosil ke energi terbarukan, kota-kota lain akan menelan sepahnya.
Karena itu, diperlukan roadmap yang jelas mengenai tenggat akhir pemakaian bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik.
"Jakarta memang jadi bersih. Tapi kan tempat lain jadi kotor. Misalnya, PLTB-nya di Indramayu, di Cirebon. Jakarta memang bersih, tapi Indramayu jadi kotor. Kita harus punya roadmap. Kita pakai batubara mau sampai kapan, misalnya 2021. Syukur kalau bisa beralih ke tenaga surya," ucap Puput.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.