KPBB mencatat, sekalipun pemerintah menggunakan PM 2,5 sebagai parameter, standarnya pun jauh lebih longgar. Dikutip dari data KPBB, konsentrasi PM 2,5 sebesar 65 ug/m3 dikategorikan "sangat tidak sehat" oleh WHO, sedangkan pemerintah mengategorikannya "sedang".
Baca juga: Polusi Udara Jakarta Parah, Pemerintah Diminta Galakkan Razia Emisi
"Rata-rata konsentrasi PM 2,5 di Jakarta itu 45,6 ug/m3 pada 2018 dan dianggap "sedang" oleh pemerintah. Padahal menurut WHO itu sudah kategori "tidak sehat" (35-55 ug/m3). Ini polemik tolok ukur," kata Puput.
Selain itu, Puput menilai, pemerintah tak pernah merevisi standar ISPU walau zaman sudah banyak berubah sejak Keputusan Menteri Lingkungan Hidup diundangkan pada 1997. Padahal, pemerintah melalui PP Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara membuka kemungkinan bagi peninjauan ulang baku mutu udara setiap lima tahun.
"Ini artinya sudah 20 tahun, tapi enggak pernah direvisi," kata Puput.
Baca juga: Menurut Anies, Ini Penyumbang Terbesar Polusi Udara Jakarta...
Revisi ini dinilai penting untuk menentukan langkah pengendalian pencemaran udara, terlebih di Jakarta. Standar WHO tentu layak dijadikan acuan.
"Namanya manusia kan seluruh dunia kurang lebih daya tahannya terhadap polusi kan sama. Kalau pakai aturan pemerintah kita, orang Indonesia seakan lebih sakti terhadap pencemaran udara dibanding orang Amerika, Eropa, Cina, dan sebagainya," kata Puput.
"Standar WHO ini kan sangat mendasar dalam perlindungan manusia, apalagi kita punya konvensi yang ditandatangani, sudah diratifikasi di PBB. Ngapain kita kok enggak pakai?" pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.