JAKARTA, KOMPAS.com – Buruknya kualitas udara di DKI Jakarta berpengaruh besar terhadap kesehatan warga Ibu Kota.
Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) mencatat, kenaikan jumlah penderita beberapa penyakit yang berkorelasi dengan pencemaran udara di Jakarta.
“Jangan heran apabila banyak orang menderita penyakit terkait pencemaran udara, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), iritasi mata atau kulit, gangguan fungsi ginjal, bahkan kanker dan kematian dini,” ujar Direktur KPBB, Ahmad Safrudin alias Puput kepada Kompas.com, Senin (8/7/2019).
Puput mengatakan, biaya yang harus dikeluarkan untuk mengobati penyakit-penyakit yang timbul akibat pencemaran udara setidaknya mencapai Rp 51,2 triliun.
Angka ini merupakan hasil penelitian yang dipublikasikan pada 2016, hasil kerja sama KPBB dengan United Nations Environment Programme (UNEP).
Penelitian tersebut menggunakan lima parameter penyakit yang disebabkan oleh pencemaran udara, yakni ISPA, jantung koroner, pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK/COPD), dan asma.
Hasilnya, pada 2016, sebanyak 58,3 persen warga DKI atau nyaris 6 juta orang terkena penyakit yang berkorelasi dengan pencemaran udara di atas.
Pengidap ISPA dan asma menyumbang angka terbesar dengan laporan 2,7 juta dan 1,4 juta kasus pada 2016.
Jumlah ini melonjak drastis ketimbang pengukuran sebelumnya pada 2010. Jumlah pengidap ISPA dan asma saat itu sebanyak 2,4 juta dan 1,2 juta orang, serta kerugian warga DKI untuk biaya kesehatan mencapai Rp 38,5 triliun.
Puput menyebut, pihaknya belum melakukan penelitian kembali pada tahun ini. Akan tetapi, data soal tingkat pencemaran udara yang dirilis KPBB dapat dijadikan pembanding.
Dalam data KPBB pada 28 Juni 2019, tingkat pencemaran udara di DKI Jakarta pada tahun 2017 sebesar 38,9 ug/m3 (mikrogram per meter kubik).
Jumlah ini jauh di atas baku mutu udara sehat sebesar 10 ug/m3 menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Sebagai informasi, parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran udara ialah partikulat berukuran 2,5 mikron (PM 2,5) atau setara sehelai rambut dicacah 30 bagian.
Sementara itu, dalam kurun Januari hingga Juni lalu, tingkat pencemaran udara di DKI Jakarta telah mencapai angka 57,66 ug/m3, dihitung berdasarkan parameter yang sama.
Jumlah ini berpotensi makin tinggi dalam beberapa bulan ke depan.
“Problemnya kan saat ini belum selesai musim kemarau, September atau Oktober pasti akan naik lagi,” ujar Puput.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.