JAKARTA, KOMPAS.com - Ada yang tak biasa dari langit Jakarta pada Rabu (10/7/2019) pagi. Sekitar sembilan penerjun payung tampak menghiasi langit Jakarta di kawasan Monumen Nasional (Monas). Aksi mereka merupakan bagian dari peringatan HUT ke-73 Bhayangkara.
Salah satu penerjun tersebut adalah Brigadir Yeni Hermilah. Dia adalah anggota pasukan gegana Korbrimob Polri. Usianya baru 32 tahun, tetapi pengalamannya sebagai penerjun payung tak perlu diragukan lagi.
Ia bergabung sebagai kelompok penerjun payung Polri sejak tahun 2007 dan pernah mengikuti latihan terjun payung di Amerika Serikat serta Malaysia.
Baca juga: Bertugas di Polairud, Polwan Ini Mahir Kemudikan Kapal Patroli
Kepada Kompas.com, wanita yang akrab Yeni itu menceritakan pengalamannya selama bergabung sebagai anggota penerjun payung Polri.
Yeni bercerita awalnya dia memilih menjadi anggota penerjun payung karena tuntutan tugas dari pimpinan. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai menikmati profesinya sebagai anggota polisi dan penerjun payung.
"Awalnya sih takut (untuk menjadi penerjun payung) karena itu tuntutan tugas, perintah dari pimpinan. Tapi seterusnya malah menikmati dan senang menjalaninya. Sekarang sudah seperti hobi saja," ujar Yeni.
Saat awal bergabung sebagai tim penerjun payung, Yeni mengaku tak bisa menyembunyikan rasa takutnya setiap kali melompat dari ketinggian. Ia pun pernah melompat dari ketinggian 10.000 kaki.
Untuk mengurangi rasa takutnya, ia memilih berdoa dan mengingat kembali teknik-teknik terjun payung yang pernah dipelajari.
Baca juga: Bertugas di Misi Perdamaian PBB Haiti, Polwan Ini Rela Lebaran Tanpa Keluarga
"Pertama untuk mengurangi rasa takut, pasti berdoa, pasti. Terus saya me-refresh atau mengingat kembali apa yang sudah saya pelajari, apa yang sudah diajarkan senior atau pelatih," kata Yeni.
"Saat di pesawat atau melompat, sebisa mungkin saya enggak melamun. Jadi, harus terus mengingat apa sih yang sudah dipelajari," lanjutnya.
Selanjutnya, Yeni menjelaskan, tantangan terbesarnya saat melompat adalah kecepatan angin. Ia tak dapat memprediksi kecepatan angin yang terkadang membuat target pendaratannya menjadi meleset.
Oleh karena itu, latihan secara rutin adalah kunci utama untuk membiasakan diri dengan kecepatan angin yang tak bisa diprediksi.
"Kesulitannya menjadi penerjun payung itu angin. Angin ini menentukan posisi pendaratan kita. Jadi, kalau angin kencang, itu sangat mengkhawatirkan karena bisa saja kita enggak bisa mendarat sesuai target. Kalau angin kencang, kita harus bertahan di atas, karena kalau turun bisa gak sesuai target," jelasnya.
Pengalamannya menjadi seorang penerjun payung telah memberikan kesempatan yang tak terlupakan di antaranya terjun dari ketinggian 7.000 kaki pada puncak peringatan HUT Bhayangkara ke-73 di Lapangan Monas, hari ini.
Aksinya itu juga disaksikan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Yeni mengaku gugup melakukan aksi terjun payung hari ini, tetapi tetap memberikan aksi terbaiknya.
"Demam panggung itu pasti, kapan pun saya terjun itu masih gugup. Apalagi hari ini disaksikan Presiden. Tapi, saya berdoa saja dan berusaha terjun sesuai target walaupun anginnya cukup kencang. Hal ini menjadi kebanggan tersendiri bagi saya karena bisa disaksikan oleh Presiden," kata Yeni.
Yeni pun bangga memiliki kesempatan memberikan buket bunga kepada Ibu Negara, Iriana Joko Widodo usai menyelesaikan aksi terjun payungnya.
"Tadi usai mendarat, saya juga berkesempatan memberikan buket bunga kepada Ibu Negara. Kebanggaan lainnya bagi saya selain bisa terjun payung dengan disaksikan Presiden Joko Widodo," ujar Yeni.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.