JAKARTA, KOMPAS.com - Jika di depan rumah-rumah biasanya dipasangi pot bunga atau ornamen-ornamen lain sebagai dekorasi, maka kita akan melihat pemandangan berbeda di Kampung Nelayan Muara Kamal, Penjaringan Jakarta Utara.
Hampir setiap rumah di sana tergantung belahan galon, corong air, bahkan ember bekas cat air yang disambungkan ke Sebuah selang atau pipa.
Pipa dan selang itu diarahkan menuju drum-drum biru tua yang ada di bawahnya.
Meski membuat halaman depan tumah tampak berantakan, namun warga setempat tak memiliki pilihan. Dengan mengandalkan seperangkat benda itulah warga memenuhi kebutuhan air mereka.
Kampung Penadah Hujan, itulah nama yang cocok disematkan pada kampung tersebut. Alasannya, warga di sana begitu mengharapkan tetesan air dari langit untuk kelangsungan hidup mereka.
Baca juga: Musim Kemarau, PAM Jaya Sebut Pasokan Air Bersih Masih Aman
Seorang warga bernama Diana (40) mengatakan, kondisi itu sudah berpuluh-puluh tahun mereka rasakan.
Air hujan dianggap mereka hampir seperti uang yang turun dari langit. Bagaimana tidak, hanya hujan sumber air bersih yang bisa mereka dapatkan tanpa membeli.
"Kalau musim hujan mah berjejer ini semua. Ini warga pada nampung air pakai baskom, tong, segala macem," kata Dian saat ditemui Kompas.com di kediamannya, Kamis (11/7/2019).
Air hujan itu, kata Diana, akan digunakan warga untuk mandi, mencuci hingga dimasak sebagai air minum.
Diana mengatakan, sudah begitu lama hujan tak membasahi lokasi tersebut. Saking lamanya, ia bahkan tak ingat kapan hujan terakhir kali turun.
Hal itu membuat pengeluarannya membengkak. Pasalnya ia harus membeli air bersih yang disediakan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) di pintu masuk perkampungan tersebut.
Setiap harinya, ia harus membeli dua gerobak atau setara dengan lima jeriken air bersih untuk memenuhi kebutuhannya.
"Kalau mau nyuci bahkan bisa tiga gerobak dalam sehari," ucapnya.
Per gerobak untuk air bersih itu Diana harus mengeluarkan uang Rp 6.000 hingga Rp 8.000.
Baca juga: Sebanyak 15.040 Jiwa di Banyumas Krisis Air Bersih
Sementara itu, Hawis (47) warga lainnya mengatakan, sejatinya dulu mereka pernah mencoba membuat sumur galian sebagai alternatif.