"Cuma kepakai setahun, habis itu kecampur air laut, jadi asin airnya," ucapnya.
Usaha lain yang pernah mereka coba yakni mengusulkan agar air PAM sampai ke rumah masing-masing warga.
Setelah usulan, kata Hawis, tersebut beberapa kali petugas dari Palyja datang meninjau lokasi tersebut. Namun hal itu tak kunjung terealisasi.
"Kalau kata mereka enggak seimbang biaya masang pipa sama jumlah warga di sini," ucapnya.
Membuat penadah air juga bukan perkara mudah. Material yang mereka gunakan harus dipikirkan untuk memenuhi kebutuhan air mereka.
Biasanya, warga kampung tersebut menggunakan material asbes, seng, atau bilah bambu untuk menampung air dari loteng.
Baca juga: Kisah Warga Gunungkidul Berbagi dengan Hewan Ternak karena Sulitnya Dapatkan Air Bersih
"Kalau pakai asbes ini kimianya berat, enggak bagus dipakai buat minum, kecuali yang pakai seng bisa (buat minum) tapi kalau yang seng jadi cepat berkarat karena hawa laut," ujar Hawis.
Hawis sendiri memilih menggunakan bambu untuk medah air hujan di rumahnya. Biayamya memang lebih murah ketimbang material lain. Namun, saat musim panas tiba, bambu itu biasanya lapuk dan harus diganti.
Saat berkunjung ke rumah Hawis tak terlihat penadah air terpasang di rumahnya karena sudah lapuk dan hancur.
Ia belum menggantinya dengan yang baru karena musim hujan masih lama.
Di depan rumahnya hanya ada dua drum biru tua kosong yang menunggu diisi penuh oleh rintik hujan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.