Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Kampung Orang Portugis Jadi Gudang Kontainer, Rupamu Kini Kampung Tugu

Kompas.com - 16/07/2019, 06:06 WIB
Anastasia Aulia,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Berkunjung ke Kampung Tugu bukan hal yang mudah. Pasalnya, agak sulit menemukan 'kampung' di daerah perindustrian yang terletak di Jalan Raya Tugu Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara.

"Wah cepat sekali menemukan lokasi kami (Kampung Tugu)," sambut Lucky Michiels (54) yang merupakan penghuni rumah asli Portugis berusia 250 tahun itu ketika ditemui Kompas.com  pekan lalu.

Memang tidak terlihat ornamen penghias atau penunjuk arah yang tetap untuk mencapai ke Kampung Tugu. Pengunjung hanya bisa mengandalkan maps dan bertanya ke warga sekitar terkait lokasi Kampung Tugu ini.

"Tahun lalu pas Pak Bambang, Walkot Jakut, bikin (program) 13 destinasi. Dia berpikir ingin menata kembali. Tapi dia ditarik Jokowi, jadi rencana itu enggak berjalan. Dia salah satu Walkot yang memperhatikan budaya dan Kampung Tugu," ujar Arthur James Michiels (50), keturunan ke-10 dari Letnan Mardijiker, Jonathan Michiels.

Baca juga: Jejak Portugis di Kampung Tugu

Kampung Tugu dulunya digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk menempatkan para Mardijkers. Mardijkers ini merupakan istilah bagi tawanan perang yang telah dibebaskan dengan syarat tertentu. Mereka dibawa dari wilayah jajahan Portugis ke Batavia oleh pemerintah Hindia Belanda. 

Di kampung kecil ini lah lahir anak-anak percampuran Betawi dan Portugis. Maka dari itu, saat datang ke kampung ini, Anda akan dengan mudah menjumpai laki-laki dan perempuan dengan paras seperti "orang barat". 

Warga Kampung Tugu kini hanya tersisa sekitar 150 orang dan dari 23 marga hanya 7 marga yang tersisa. Hal ini disebabkan karena masuknya perindustrian ke daerah tersebut. Warga Kampung Tugu memilih untuk melepas tanahnya dan hijrah ke tempat lain.

Baca juga: Gado-gado Kampung Tugu Beda dari Gado-gado Betawi, Ini Rahasianya...

 

Selain itu, karena terdapat sistem patriarki, apabila keturunan tidak mempunyai anak laki-laki maka habislah keturunannya.

"Lihat saja sudah bukan Kampung Tugu lagi, sudah jadi Kampung Transformers," ujar Rara Agusta (27) yang juga meninggali rumah asli Portugis itu.

Memang terlihat banyak truk-truk kontainer lalu lalang di jalan persis depan rumah Portugis tersebut. Membuat suasananya kering dan gersang, terlalu banyak debu bertebaran di daerah itu.

Silaturahmi warga Kampung Tugu dalam tradisi Rabo-Rabo.Randy Prakoso Silaturahmi warga Kampung Tugu dalam tradisi Rabo-Rabo.

Sulit pertahankan budaya

Arthur bercerita bahwa pemerintah kota kurang memperhatikan Kampung Tugu dan peninggalannya. Padahal, menurut dia, peninggalan Portugis di daerah ini sangat lengkap, dari orangnya, makanan, alat musik, hingga bangunan. 

"Kemarin kami Krontjong Toegoe pun ke forum internasional di Malaka tidak dibiayai. Padahal budaya kroncong merupakan peninggalan sini, Kampung Tugu" kata Arthur.

Ia mengaku sangat kesusahan untuk mempertahankan budaya-budaya yang diturunkan oleh moyangnya lantaran bantuan dan dukungan yang didapat dari pihak luar sangat minim.

"Di Tugu, kita keturunan Portugis ini sudah sangat jarang berbahasa Portugis. Saya sendiri juga kurang, namun masih bisa apabila diajak berbicara" kata dia.

Baca juga: Rabo-rabo, Tradisi Tahun Baru Kampung Tugu Jakarta

Di rumah yang berusia 250 tahun itu, Arthur bersama keluarganya tinggal. Pada atas pintu masuk terdapat tapal kuda yang menurut budaya Portugis untuk menangkal bala.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com