“Penolakan itu dari Betawi tengah yang memang didominasi oleh kultur Arab,” ujar Ayu.
Baca juga: Ondel-ondel Jalanan, Boneka Betawi yang Kehilangan Sakralitasnya
Dalam penelitiannya, Ayu mengatakan banyak seniman ondel-ondel yang kemudian dilema. Ondel-ondel dianggap sebagai sesembahan yang tidak sesuai dengan ajaran guru mengaji mereka.
Seniman yang tergolong kelompok Betawi pinggir ini pun menjadikan ondel-ondel sebagai medium kesenian.
Ondel-ondel dijadikan hiburan di acara-acara warga, tanpa memasukkan ritual yang sakral. Ondel-ondel dinikmati sebagai hiburan rakyat dengan tanjidor dan gambang kromong.
“Dahulu banyak pengeluaran yang basisnya tradisi, misalnya pada saat ondel-ondel dikeluarkan ada tradisi ‘nyuguh’ sekarang tidak lagi karena unsur kepraktisan dan sudah tidak ada lagi yang mewarisi pengetahuan tentang bagaimana seni tersebut dilakukan,” kata Ayu.
Kata ondel-ondel sendiri baru populer di era 70-an ketika lagu “Ngarak ondel-ondel” ciptaan Joko dari Surabaya dipopulerkan oleh Benyamin Sueb.
Kata ondel-ondel diduga berasal dari “gondel-gondel”, gerakan yang dibuat saat mengarak ondel-ondel.
Benyamin yang tergolong Betawi tengah, berperan besar dalam mendefinisikan ondel-ondel yang kita kenal sekarang.
“Betawi tengah meski jumlahnya lebih sedikit tapi dominasinya dalam hegemoni kebudayaan besar. Mereka lebih punya akses bahkan dalam penentuan identitas kebetawian, seperti Lembaga Kebudayaan Betawi,” ujar Ayu.
Pada era yang sama, tampilan ondel-ondel juga berubah karena keinginan Gubernur Ali Sadikin.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.