KOMPAS.com - Parkir berbayar yang kini jadi polemik di kampus Depok Universitas Indonesia bukan yang pertama kali terjadi. Sejak kepindahan UI ke Depok 32 tahun lalu, transportasi sudah jadi masalah sendiri bagi mahasiswa.
Dikutip dari buku Berkembang dalam Bayang-bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1960an (2017) karya Tri Wahyuning M Irsyam, kampus UI awal mulanya tersebar di Jalan Rawamangun Muka, Jalan Salemba 4, dan Jalan Salemba 6, serta Jalan Pegangsaan Timur.
Pemindahan kampus UI digagas para staf senior UI dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. Soemantri Brodjonegoro, Rektor UI 1964-1973.
UI dinilai sukar untuk dikembangkan karena letaknya berjauhan, dan diperhitungkan tidak akan mampu menopang perkembangan UI pada masa yang akan datang.
Pada tahun 1974, Prof. Dr. Mahar Mardjono, yang menggantikan Prof. Dr. Ir Soemantri Brodjonegoro menetapkan kawasan yang letaknya di perbatasan Depok (Jawa Barat) dan Jakarta Selatan (DKI Jakarta Raya) sebagai kampus baru UI.
Lokasi tersebut dipilih setelah mempertimbangkan beberapa lokasi pilihan yang diajukan seperti Ragunan, Cibubur, Gunung Putri, Ciseeng, dan Serpong.
Namun berbeda dengan Depok yang dilalui oleh jaringan rel kereta api, daerah-daerah yang dipertimbangkan tersebut tidak memiliki itu.
Akses transportasi menjadi salah satu alasan dipilihnya tanah seluas 320 hektar di perbatasan Jakarta dan Depok sebagai kampus baru UI.
Pembangunan kampus UI selesai pada 1987. Di masa awal-awal, pihak rektorat belum menyiapkan sarana transportasi. Tak ada angkutan mahasiswa dari pintu gerbang kampus ke tempat kuliah.
Berdasarkan catatan Kompas, 9 Desember 1987 berjudul Enam Bulan Setelah Pindah, UI Sibuk Dengan Satpam, ketika persoalan ini tengah dicarikan jalan keluar, tiba-tiba muncul beberapa kendaraan semacam bus kecil berwarna biru, mengitari kampus, dengan tarif antara Rp 50 sampai Rp 100.
Di badan kendaraan terdapat tulisan "Dana Penyantun Mahasiswa," dan menggunakan stiker UI. Para mahasiswa menyebut kendaraan tersebut sebagai "bus kutu".
Mereka langsung memanfaatkan "bus kutu" tersebut, tanpa berpikir lagi siapa yang disantuni. "Yang penting kami terangkut," demikian komentar para mahasiswa.
Namun, keberadaan bus kutu ini tidak berlangsung lama, karena tidak ada izin rute di Ul. Empat bus besar berwarna kuning, yang akrab disebut Bus Kuning (Bikun), sumbangan dari ILUNI UI (Ikatan Lulusan Universitas Indonesia), dan Departemen Perhubungan, kemudian menggantikan keberadaan bus kutu.
Selain akses keliling kampus yang sulit, akses menuju kampus dari indekos di sekitar UI juga sama sulitnya. Kala itu, rumah-rumah indekos mulai tumbuh di sekitar Kukusan, Pondok Cina, dan Margonda.
Dikutip dari catatan Kompas berjudul Dari Kukusan ke Margonda yang tayang pada 28 Januari 1990, kesulitan tersebut mulai dirasakan ketika mahasiswa akan bepergian. Apalagi kalau kegiatan itu dilakukan pada malam hari.