JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang anggota polisi yang diduga melakukan tindakan kekerasan saat menyelidiki suatu kasus tindak pidana dinilai sulit untuk diproses secara hukum.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan polisi tidak mungkin memberi sanksi berat terhadap sesama anggota.
Meskipun, prosedur untuk melaporkan polisi yang berbuat kesalahan selama proses penyidikan itu ada.
"Secara prosedur memang harus dilaporkan pada Propam atau Irwasum. Hukuman bagi polisi yang melakukan kekerasan pun masih tertutup di internal mereka. Rata-rata hanya terbatas sanksi etik. Jeruk tak mungkin makan jeruk," kata Bambang saat dikonfirmasi Kompas.com, Jumat (19/7/2019).
Komentar Bambang ini terkait tindak kekerasan yang diduga dilakukan polisi terhadap empat pengamen korban salah tangkap.
Baca juga: Tanda Tanya Kasus Salah Tangkap dan Penyiksaan terhadap Empat Pengamen Cipulir
Kekerasan dilakukan agar para pengamen mengakui pembunuhan yang tidak mereka lakukan. Belakangan, Mahkamah Agung memutus bahwa empat pengamen itu tidak bersalah.
Bambang mengatakan, sebagian besar korban salah tangkap yang divonis bebas juga enggan melaporkan kasus mereka itu.
Sebab, mereka tak mempunyai akses untuk melaporkan tindakan kekerasan atau salah tangkap tersebut ke Kepolisian atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Bambang menilai belum ada lembaga eksternal yang independen dan berani mengawasi cara polisi dalan menyelidiki suatu kasus tindak pidana.
Polisi hanya memiliki lembaga internal yang mengawasi suatu penyelidikan kasus tindak pidana.
Oleh karena itu, anggota polisi masih rentan melakukan aksi kekerasan untuk menekan seseorang mengakui perbuatan tindak pidana.
Baca juga: Kisah Pilu Fikri Pribadi, Korban Salah Tangkap Polisi Sebelum dan Setelah Dipenjara
"Lebih ironis lagi tak ada lembaga yang mengawasi cara kerja kepolisian ini secara ketat. Akibatnya tak ada tempat untuk mengadu yang bersifat netral dan independen bila terjadi kesalahan terhadap prosedur," ungkap Bambang.
Seperti diketahui, empat pengamen melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sebelumnya menuntut ganti rugi kepada Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI.
Kepolisian dan Kejaksaan dianggap salah menangkap empat tersangka dan melakukan kekerasan atas penyidikan kasus pembunuhan Dicky Maulana di kolong jembatan samping Kali Cipulir, pada 2013.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 3 hingga 4 tahun kepada keempatnya.
Namun, belakangan mereka dinyatakan tidak bersalah dalam putusan Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.
Baca juga: Catatan Kontras, Ada 51 Kasus Salah Tangkap Sejak Juli 2018
Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mereka kemudian menuntut kerugian dari Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI karena salah menangkap.
Kerugian yang dituntut pihak mereka Rp 186.600.000 per anak. Biaya itu meliputi total kehilangan penghasilan sampai biaya makan selama dipenjara.
Dengan demikian, total untuk keempatnya sebesar Rp 746.400.000.
Tidak hanya tuntuan secara materi, pihaknya juga meminta pihak Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI untuk mengakui semua kesalahan karena salah menangkap orang dan melakukan tindak intimidasi.
Adapun, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan, polisi tidak menyalahi aturan selama proses penyelidikan dan penyidikan kasus yang menjerat empat pengamen tersebut.
Segala proses penyidikan dilakukan sesuai prosedur dan aturan yang berlaku.
Kala itu, polisi jugs memiliki dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan mereka sebagai tersangka.
"Polisi telah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tersebut, bukti formil dan materiil telah dipenuhi. Berkas perkara telah dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum," kata Argo saat dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (18/7/2019).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.