Para drakula itu jangan sampai melakukan kartel atas industri maupun perdagangan narkoba. Bila terjadi perang di antara kartel, korbannya yang lebih besar pastilah warga sipil.
Kita perlu belajar dari pengalaman Meksiko yang perang berkepanjangan, melibatkan aparat kepolisian dengan kartel setempat.
Polisi telah bekerja keras. Sejumlah bandar dan toke ditangkap polisi, tapi kita menduga, sejumlah bandar dan toke lain bermain mata dengan oknum yang dapat mereka jinakkan.
Ada yang harus mendapat evaluasi dalam soal pemberantasan narkoba, meski peran BNN (Badan Narkotika Nasional) dan kepolisian, terasa membantu pemberantasan.
Urusan di Kejaksaan dan Persidangan Pengadilan atas kasus narkoba, mungkin lain lagi. Kalau urusan oknum nakal, kita tahu di mana lembaga pun, selalu ada yang bertindak memanfaatkan jabatannya.
Fiksi Narkoba
Sudah sejak lama saya prihatin dengan peredaran narkoba, pemberantasannya seperti ayam dengan telur. Entah mana yang duluan atau lebih awal harus dilakukan.
Apakah Pak Polisi sebagai pengayom masyarakat harus menjadi sangat tegas seperti tindakan Presiden Rodrigo Duterte di Filipina? Bandarnya harus ditembak mati, meski menimbulkan reaksi aktivis hak asasi manusia.
Atau, aparat hukum yang memiliki kewenangan yang harus terus-menerus mendapat evaluasi dalam kebijakannya melakukan pemberantasan.
Atau mungkin, ada yang keliru di dalam sistem tata kelola negara kita. Suatu kali, saya pernah berbincang dengan seseorang yang mengaku dulunya kurir narkoba di Dumai, Riau.
Ia gamblang bercerita soal perannya, kehadiran oknum nakal, dan situasi perjalanan membawa narkoba dari Malaysia ke Dumai. Lautan kita begitu telanjang, bahkan tanpa pengawalan yang memadai.
Pinggir laut menjadi salah satu lokus untuk memasukkan narkoba seperti kasus penyeludupan sabu seberat 1 ton lewat laut, diangkut dengan Kapal Sunrise Glory di selat Philips, perbatasan antara Singapura dan Batam, Februari 2018 lalu.
Pengamatan yang panjang saat menjadi reporter dan eksekutif produser di televisi, mata rantai narkoba yang tak kunjung terbasmi, membuat saya tertarik mengulasnya dalam bentuk karya fiksi.
Dalam satu novel saya yang menunggu diterbitkan, Sangkar Burung Hantu, tema dan benang merah utamanya tentang seluk-beluk peredaran narkoba di Tanah Air.
Lokus ceritanya di Kampung Baru, Jakarta Timur, dan juga di Medan, Sumatera utara. Ini salah satu dialog cerita novel yang dapat saya paparkan:
***
“Kau tahu, baru saja terjadi lagi kehebohan di sini.”
“Kehebohan?”
“Polisi menjebak sindikat narkoba dan kaki-tangannya. Menangkap tiga orang pengedar kawakan,” kata Bondanang, berharap Ratih menerima ajakannya mengobrol.
“Pria yang satu berwajah gelap, rambutnya kriting. Pria satunya lagi tinggi, dan kurus—berkulit kuning langsat. Seorang lagi bertubuh gempal. Polisi menyeret ketiganya ke kantor polisi di Kayu Putih.”
Peredaran narkoba (narkotik, obat berbahaya dan psikotropika) menjadi momok menakutkan di berbagai sudut kota.
Ratih merasa terpancing. Katanya lunak, “Kok tidak pernah kapok-kapok—para pengedar narkotik laknat itu!”
“Mungkin hati nurani mereka telah kelu seperti kelunya lidah manusia dirasuki sifat-sifat jahat Iblis!”