Hal ini disengaja, karena, berbeda dengan sekolah atau kampus, tak ada perusahaan atau kantor yang khusus mempekerjakan seseorang beragama tertentu.
Tanpa wadah macam KJK, orang-orang Katolik yang tengah meniti karier dinilai kesulitan menemukan calon pendamping seiman, lantaran ruang gerak yang sempit sebagai kelompok minoritas.
Sulit disangkal, dasar iman yang sama memang hampir selalu jadi prioritas seseorang ketika hendak memilih pendamping hidup.
Baca juga: 7 Kesalahan Wanita Jomblo hingga Sulit Dapat Pacar
“Anak beragama Katolik, umumnya saat sekolah, orangtuanya menyekolahkan di sekolah Katolik. Mayoritas muridnya Katolik juga. Perlu difasilitasi KJK? Enggak, peluang mendapatkan teman atau calon yang sama-sama Katolik masih banyak,” kata Agatha.
Sementara itu, setelah seorang Katolik menekuni karier, lingkaran-lingkaran sosial berlatar belakang kesamaan iman seperti tadi semakin kabur.
“Mau ikut di mana? Acara gereja? Gabung OMK (Orang Muda Katolik) ketuaan. Ikut acara gereja di lingkungan masing-masing, yang datang emak-emak, bapak-bapak, nenek-nenek. Jarang yang usia dewasa muda ikut aktif,” Agatha memaparkan.
“Di situ jadinya, usia kerja yang kami fasilitasi. Peluang mereka kecil di luar sana untuk menemukan teman atau calon seiman, tapi masih gede di sini,” sambungnya.
Bisa dibilang, aktivitas KJK bermula dari dunia maya dengan memanfaatkan sejumlah akun media sosial, terutama Facebook.
Namun, Agatha mengakui KJK regional Jakarta sedang agak seret untuk urusan pengelolaan konten media sosial. Itu kendala yang tengah ia hadapi sekarang.
Namun, selain dapat dibaca sebagai masalah, tak optimalnya pengelolaan media sosial tadi juga dapat dipahami sebagai suatu resistensi terhadap arus zaman.
Di tengah arus digitalisasi yang serbacanggih, sampai-sampai urusan jodoh bisa diutak-atik melalui aplikasi kencan, KJK justru melakukan perjodohan dengan cara yang diklaim lebih otentik dan manjur.
Agatha menyebut, KJK mengutamakan perjumpaan sebagai pintu masuk perkenalan sejoli.
“Kalau saya secara pribadi, KJK masih perlu dan relevan. Dunia maya oke. Tapi, filter di sana kan bisa ngarang yang bagus-bagus. Kalau perjumpaan riil, kecuali pencitraannya canggih, ketika datang ketemu body language enggak bisa disimpan,” ujar Agatha.
Kadang-kadang, kata Agatha, upaya penjodohan pada sejumlah anggota pun dilakukan oleh para pengurus KJK, terutama regional Jakarta. Sebab, 50 persen anggota KJK regional Jakarta merupakan perantau.
Ada yang lingkup pertemanan, hingga perjodohannya, bergantung pada KJK. Berbagai trik pun disiapkan pengurus untuk proyek penjodohan “terselubung”.